Para Pengamat Ini Kritik Kebijakan Sri Mulyani, Jleb

Para Pengamat Ini Kritik Kebijakan Sri Mulyani, Jleb
Menkeu Sri Mulyani. Ilustrasi Foto: Ricardo

Sebab, kata dia, di dalam PMK tidak terdapat rujukan peraturan lama yang perlu disederhanakan, sehingga masyarakat menanggapinya sebagai pajak baru.

"Untuk itu, mohon Menteri Keuangan yang terhormat berkenan memberi peraturan lama sebagai bahan sosialisasi kepada sekelompok masyarakat yang berkepentingan," kata Anthony dalam keterangan resminya, Selasa.

Sejatinya, kata Anthony, pulsa dan kartu perdana bukan barang kena pajak, karena bukan barang konsumsi.

Pulsa dan kartu perdana hanya sebagai sarana menyimpan uang dengan nilai tertentu. Uang itu, kata dia, dapat dibelanjakan untuk melakukan panggilan telepon atau data setelah diaktifkan.

Sementara itu, kartu perdana yang berisi nomor telepon, adalah sarana untuk melakukan pemanggilan telepon atau akses data atau internet.

"Adapun barang konsumsi, atau barang kena pajak, yang sebenarnya adalah pemakaian telepon atau pulsa dan data atau internet, atau singkatnya jasa telekomunikasi. Artinya, barang kena pajak yang dimaksud adalah pulsa yang dipotong oleh penyelenggara telekomunikasi seperti Telkom, Telkomsel, dan lainnya," tutur Anthony.

Selanjutnya, sambung Anthony, ketika pulsa diserahkan kepada pelanggan, yang terjadi adalah perpindahan penyimpanan uang dari kas atau bank pelanggan, ke bentuk kartu pulsa.

Kemudian, ujar Anthony, hal ini sejalan dengan perlakuan perpajakan untuk pelanggan pascabayar dengan penagihan bulanan.

Herry Gunawan mempertanyakan klarifikasi Menkeu Sri Mulyani yang menyebut tarif tidak akan terpengaruh ketika pemerintah menetapkan pajak penjualan pulsa dan token listrik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News