Pemimpin dan Idealisme Keagrariaan

Pemimpin dan Idealisme Keagrariaan
Pegiat Politik DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Anton Doni Dihen. Foto: Ist.

BACA JUGA: Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan

Keempat, sampai hari ini, setelah melihat dengan galau fakta penguasaan tanah yang luar biasa luasnya oleh segelintir orang, secara legal, kita pun belum mampu mengambil langkah apapun untuk mengevaluasi praktek-praktek penguasaan tanah tersebut dalam terang keadilan sosial.

Semestinya sampai hari ini, melampaui evaluasi teknis tentang pendapatan pajak dan PNBP dari semua sektor yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam kita harus bertanya, apakah fungsi sosial sudah optimal dicapai melalui model kebijakan keagrariaan seperti itu? Tidak adakah ruang untuk menciptakan model yang lebih inklusif, yang dapat lebih mengoptimalkan lagi fungsi sosial, melalui divestasi atau redistribusi sebagian lahan yang dikuasai, walau tetap mempertahankan ikatan bisnis dengan perusahaan inti pemegang hak sekarang?

Kelima, rumusan yang masih belum operasional mengenai hubungan antara kekuasaan Negara dan kekuasaan hukum adat merupakan sumber kerentanan yang harus segera diatasi. Kevakuman hukum yang mengatur tentang prosedur membangun hubungan hukum dengan masyarakat adat dan ketiadaan rumusan substantif mengenai hak-hak masyarakat adat merupakan kondisi yang memprihatinkan di tengah era yang ditandai dengan “nafsu” pertambangan ini.

Keenam, sampai pada titik ini, mestinya berbagai pengalaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sudah bisa membimbing kita untuk menentukan nilai intrinsik dari berbagai jenis sumber daya alam, dan dengan modal itu kita bisa membebankan fungsi sosial dengan lebih baik kepada berbagai model penguasaan sumber daya agraria. Berbasis pada nilai intrinsik itu juga kita dapat melakukan pembagian nilai yang lebih adil antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemilik suatu tanah ulayat. Dengan modal praktek di sektor kehutanan, misalnya, kita berharap ada kerja riset dan pengembangan ke depan yang ditujukan untuk mengembangkan formula-formula yang lebih akademis dan berperspektif dalam menentukan nilai intrinsik setiap jenis sumber daya agraria.

Pada akhirnya, di tengah keterbatasan yang melekat dalam perkembangan hukum agraria tersebut, dan di tengah berbagai komplikasi yang ditimbulkan karena pelaksanaan kebijakan keagrarian yang terlanjur semena-mena di bawah kekuasaan otoriter Orde Baru, maka adalah kepemimpinan yang baik yang bisa diandalkan untuk mengendalikan keadaan dan mengambil inisiatif untuk menjaga kedekatan antara cita-cita dan cita rasa keadilan sosial di satu sisi dan praktek keagrariaan yang sudah terlanjur “lari jauh” di sisi lain.

Kepemimpinan bercita rasa keadilan sosial sekurang-kurangnya mengoptimalkan setiap ruang yang tersedia yang dimilikinya, betatapun terbatas, untuk menunjukkan wujud-wujud nyata keadilan sosial. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan sekarang, dalam bentuk legalisasi hak milik dan redistribusi lahan di bawah tema program Reforma Agraria, merupakan bentuk-bentuk “pendekatan” keadilan sosial yang minimal, di tengah ruang yang tersedia, walau secara historis harus dikatakan bahwa langkah-langkah tersebut cukup maksimal. Langkah yang lebih maksimal mestinya berkaitan dengan fakta penguasaan tanah yang luar biasa oleh segelintir orang dan pemilik modal besar.

Maka sehubungan dengan fakta penguasaan tanah yang luar biasa tersebut, yang tentunya legal berdasarkan regulasi keagrarian yang “lari jauh”, kita berharap munculnya kepemimpinan bercita rasa keadilan sosial yang lebih proaktif, yang menunjukkan contoh bagaimana mengoptimalkan fungsi sosial melalui divestasi dan redistribusi kekuasaan atas aset sumber daya agraria yang dikuasai. Agar rasa kesenjangan social mulai makin terkikis. Dan cita rasa keadilan sosial di dunia keagrariaan mulai makin terasa.

Sayangnya, kita menyesal karena contoh itu tidak muncul, dan dalam kaitan dengan kontestasi kepemimpinan nasional mutakhir, kita justru dikejutkan karena peluang itu semestinya ada dan dapat dikapitalisasi sebagai sesuatu yang bernilai politik tinggi. Tapi peluang itu nyatanya memang diabaikan, karena absennya inisiatif dan terpenjaranya mereka yang berpotensi kepemimpinan, dalam ruang kenikmatan menikmati kekuasaan atas sumber daya agraria, yang luasnya ternyata lumayan mencengangkan.****


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang sering disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), adalah puncak pencapaian sekaligus bentuk ekpresi tertinggi idealisme keagrariaan nasional.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News