Pengamat: Besar Kemungkinan Aksi 55 Bermuatan Politis

Pengamat: Besar Kemungkinan Aksi 55 Bermuatan Politis
Terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) jalani sidang ke-17 dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Auditorium Kementan, Jakarta, Selasa (4/4). Ahok akan diperiksa bersama dengan pemeriksaan sejumlah bukti, termasuk video rekaman pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Ilustrasi by: Pool/Galih Pradipta/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Setiap warga berhak melakukan aksi unjuk rasa. Termasuk umat Islam di bawah koordinasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), yang bakal kembali menggelar aksi pada Jumat (5/5) besok.

Namun, pengamat politik dari Universitas Mercu Buana Maksimus Ramses Lalongkoe, mengingatkan agar unjuk rasa jangan sampai memaksakan kehendak.

Apalagi, kata dia, sampai 'menyandera' Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, agar memutus terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama bersalah dan divonis hukuman penjara, seperti yang dikehendaki para pengunjuk rasa.

"Saya kira, mayoritas masyarakat juga tentu berharap hakim tetap independen dan tidak boleh di bawah panguruh tekanan publik atau tekanan politik," ujarnya kepada JPNN, Kamis (4/5).

Menurut Maksimus, independensi sangat penting bagi hakim sehingga benar-benar memutus perkara berdasarkan fakta-fakta yang terungkap.

Dengan demikian, cita-cita menjadikan hukum sebagai panglima d Indonesia, dapat benar-benar terwujud secara nyata.

"Harusnya, publik percaya sama hakim untuk menegakkan hukum. Makanya saya melihat, bila terus terjadi aksi (terhadap kasus Ahok,red), besar kemungkinan memang bermutan politis," kata Maksimus.

Sebagaimana diketahui, aksi terhadap Ahok bukan kali pertama dilakukan.

Setiap warga berhak melakukan aksi unjuk rasa. Termasuk umat Islam di bawah koordinasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News