Penggabungan Batasan Produksi SKM dan SPM Tutup Celah Kecurangan Pabrik Asing

Penggabungan Batasan Produksi SKM dan SPM Tutup Celah Kecurangan Pabrik Asing
Sejumlah buruh pabrik rokok sedang bekerja. Ilustrasi Foto: DONNY SETYAWAN/RADAR KUDUS

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai belum memiliki kebijakan yang jelas dan konsisten terkait cukai. Hal ini terlihat dari keputusan yang selalu diambil secara sporadis, pragmatis, dan insidentil setiap menjelang akhir tahun atau pasca pengumuman target penerimaan cukai di nota keuangan.

Salah satu contohnya adalah kenaikan tarif cukai rokok. Akibatnya, setiap tahun terjadi kegaduhan dan tarik menarik berbagai kepentingan di industri rokok. Tarik menarik kepentingan inilah yang salah satunya berpotensi memunculkan berbagai pelanggaran hukum.

“Pemerintah harus punya kebijakan yang jelas dan konsisten dalam menetapkan sebuah produk hukum. Jika tidak, maka akan terjadi gejolak, di industri contohnya keputusan tarif cukai yang naik signifikan. Padahal di awal tahun pemerintah menyatakan tidak akan ada kenaikan cukai. Ini cermin inkonsistensi Pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan,” jelas pegiat antikorupsi Danang Widoyoko dalam diskusi Weekly Forum : Menakar Peluang Penerimaan Cukai 2020 di Jakarta Rabu (18/9).

Inkonsistensi tersebut, menurut Danang, salah satunya terlihat dari perubahan PMK 146 Tahun 2017 yang direvisi menjadi PMK 156 Tahun 2018, di mana pemerintah menghentikan sementara rencana penyederhanaan golongan tarif cukai yang seharusnya dilakukan secara bertahap sampai tahun 2021. Sayangnya, tidak jelas sampai kapan penghentian sementara itu akan dilakukan.

Menurut dia, industri hasil tembakau (IHT) harus dipaksa untuk terbuka. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus dilibatkan untuk menentukan kebijakan cukai tersebut.

‘’Harus terbuka jangan membawa kepentingannya masing-masing. Menurut saya prosesnya harus didorong agar lebih terbuka,’’ tegasnya.

Dia mengatakan, aspek pencegahan terhadap peluang pabrikan untuk menghindari pajak juga harus melibatkan lembaga lain. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

‘’Saya kira ini aspek pencegahan penting oleh KPK. KPK perlu masuk untuk melakukan penghitungan alternatif untuk mengecek konsistensi regulasi dan memberikan masukan apalagi ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar. Jadi saya kira ini bagian pencegahan KPK bisa turut memberikan masukan,’’ tegas mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.

Tolak penggabungan batasan produksi SKM dan SPM karena khawatir mereka tidak akan bisa lagi membayar tarif cukai murah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News