Penggabungan Produksi SKM dan SPM Memberatkan Industri Rokok

Penggabungan Produksi SKM dan SPM Memberatkan Industri Rokok
Sejumlah buruh pabrik rokok sedang bekerja. Ilustrasi Foto: DONNY SETYAWAN/RADAR KUDUS

Sulami menilai struktur tarif cukai tembakau pada saat ini yang terdiri dari sepuluh golongan sudah mencerminkan kondisi IHT yang terdiri dari 437 pelaku industri dengan rentang variasi produksi sangat variatif dan luas.

“Simplifikasi struktur tarif cukai akan menyebabkan terpukulnya pabrik golongan kecil dan menengah yang akan berakibat pada hilangnya lapangan pekerjaan dan semakin maraknya rokok ilegal,” terangnya.

Tenaga kerja juga menjadi perhatian Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM-SPSI).

“Regulasi yang dikeluarkan pemerintah atas tembakau akan berdampak pada keberlangsungan perusahaan hasil tembakau. Jumlah industri hasil tembakau yang makin berkurang tentu akan memengaruhi tenaga kerja yang ada,” jelas Ketua FSP RTMM-SPSI Sudarto.

Sebelumnya, penolakan penggabungan volume juga pernah disampaikan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).

Gapero memberikan beberapa saran kepada pemerintah untuk kebijakan cukai di tahun 2020.

Pertama, sigaret keretek tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya perlu di berikan insentif tambahan dalam bentuk perluasan batas jumlah produksi khususnya industri golongan II dan III serta preferensi tarif cukai dan HJE untuk semua golongan.

Kedua, kenaikan tarif dan HJE berdasarkan pada inflasi. Ketiga, pengendalian harga transaksi pasar (HTP) dengan pembatasan minimum 85 persen dari harga jual eceran (HJE) tetap dipertahankan oleh pemerintah.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengaku tidak setuju terhadap wacana penggabungan volume produksi rokok sigaret keretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) untuk diterapkan pada kebijakan cukai yang akan datang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News