Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini

Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msi

Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini
Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini

Kerja sama ekonomi Brazil, Rusia, RRC, India dan Afrika Selatan (BRICS) bahkan mempertajam peperangan ekonomi. Mereka menolak konsensus Washington (liberalisasi berbagai sektor ekonomi, privatisasi, dan cabut subsidi; neoliberal); guna memenuhi kebutuhan sendiri. BRICS membangun bank dengan modal USD 100 miliar sebagai tandingan Bank Dunia/IBRD; dan menolak menggunakan USD sebagai mata uang dalam transaksi perdagangan mereka.

Awalnya, media massa Barat mengerucutkan peperangan itu dengan tema Corporate Capitalism versus State Capitalism, sebagaimana artikel saya empat tahun lalu di media nasional. Tetapi intinya adalah perang ideologi ekonomi demi tercapainya kepentingan nasional, baik sendiri-sendiri maupun bersama.

Sejak akhir tahun 2008 tema besar ini saya tempatkan sebagai sajian utama pada berbagai kuliah tamu di Magister Kebijakan Publik UGM, S2 Ilmu Komunikasi UI, S3 Universitas Sahid, Unesa, UNY, Unes, UNM dan pendidikan dan pelatihan di Lembaga Administrasi Negara untuk Sespimnas II, Sespimti Polri serta di berbagai acara diskusi lainnya. Dalam keseluruhan sajian itu saya menyebutkan, peperangan ekonomi masih akan berlanjut sebagaimana saya sampaikan di forum diskusi Perbanas pada Jan 2014, LPS pada Agustus 2014, dan beberapa instansi pemerintah lainnya.

Merujuk pada penolakan kompetitor AS menggunakan mata uang USD dalam transaksi perdagangan, sementara AS menggunakan mata uangnya sebagai senjata ampuh menekan lawannya, maka minyak lagi-lagi menjadi komoditas paling cepat memberi dampak terhadap perekonomian suatu negara. Sejak OPEC didirikan, permainan harga minyak sudah terjadi dan selalu berhubungan dengan peristiwa politik.

Kini, harga minyak kembali dimainkan AS hanya karena AS sudah terbebas dari ketergantungan minyaknya dari Saudi Arabia, Kuwait, UAE, Kanada dan Venezuela. AS juga berhasil memberi sanksi pada Rusia akibat Rusia mendukung pemberontak separatis Ukraina di Crimea.

Karena besarnya APBN Rusia tergantung dari minyak dan gas, maka pukulan harga minyak membuat perekonomian Rusia tergelincir. Mata uang Rubel jatuh 50 persen walau Rusia telah meningkatkan suku bunganya dari 10,5 persen menjadi 17 persen. AS tidak berhenti sampai di situ. Menyusul penggunaan teknologi eksplorasi mutakhir, shale gas dan shale oil yang tersimpan di bumi AS telah membuat negeri Paman Sam memiliki kedaulatan energi dan berposisi sebagai produsen minyak terbesar di dunia dalam waktu yang akan datang.

Merosotnya harga minyak ini membuat semua negara yang memproduksi minyak dengan titik impas di atas USD 80 per barel akan terseok-seok. Negara-negara produsen minyak dan negara-negara importer minyak yang mengonsumsi minyak melalui kontrak jangka panjang dengan negara produsen pun terpukul. Akibatnya, semua harga dan permintaan barang di pasar global akan merosot bersamaan dengan membaiknya kondisi ekonomi AS dan menguatnya nilai tukar USD.

Dampaknya, pertumbuhan ekonomi global melambat namun perekonomian AS tampil sebagai pemenangnya. Indikasinya nampak pada pertumbuhan ekonomi AS yang tinggi di atas perkiraan hampir semua analis dan merosotnya angka pengangguran di AS, yang kini tinggal 240.000-an saja.

SEJAK krisis ekonomi tahun 2008 yang ditandai dengan kekalahan perang industri manufaktur AS terhadap RRC sehingga negeri Paman SAM mengalami defisit

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News