Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini

Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msi

Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini
Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini

jpnn.com - SEJAK krisis ekonomi tahun 2008 yang ditandai dengan kekalahan perang industri manufaktur AS terhadap RRC sehingga negeri Paman SAM mengalami defisit perdagangan USD 323 miliar, sebenarnya genderang perang ekonomi mulai ditabuh menguat. Betapa tidak, kekalahan industri manufaktur AS tersebut mengakibatkan para pekerja dirumahkan.

Akibatnya mereka tidak bisa membayar kredit perumahan. Kredit macet ini pada gilirannya melahirkan krisis subprime mortgage sehingga atas persetujuan Kongres AS, pemerintahan GW Bush harus menalangi (bail out) kerugian industri keuangan AS sebesar USD 700 miliar.

Dalam perkembangannya bail out  itu menjadi USD 831 miliar dan dilanjutkan dengan kebijakan uang murah (quantitive easing) dari Federal Reserve. Rangkaian kebijakan itu menunjukkan AS berusaha mengatasi krisisnya sambil membangun kembali ketahanan ekonominya.

Tekad membangun kembali itu demikian kuatnya. Indikatornya terlihat pada pernyataan Menkeu AS, Timothy Geithner era periode pertama BH Obama yang menuding RRC telah melakukan manipulasi nilai tukar. AS pun menekan RRC untuk minimal melakukan dua hal: melepas nilai tukarnya ke pasar dan menerapkan hak cipta intelektual.

Tentu saja diikuti dengan anjuran kuat menerapkan demokrasi liberal. RRC tidak merespon langsung tekanan ini. Hu Jintao yang waktu itu memimpin RRC malah melakukan diplomasi ekonomi dengan cara membeli Bank of East Asia di Chicago, sebuah bank yang memiliki 246 cabang di seantero AS. Obama pun bersikap betapa muaknya dia pada Hu Jintao.

Dalam posisi tidak memberi hasil yang memadai dalam menekan RRC, AS mengekspor inflasi ke jazirah Arab. Maka Mesir bergolak, juga Libya dengan akibat Khadafi jatuh, lalu perang adu domba di Syria yang hingga kini masih berlanjut.  Patut dicatat, dalam sejarah ekonomi politik abad 20, inflasi adalah senjata awal untuk membuat kerusuhan sosial dan berlanjut menjadi kerusuhan politik disebabkan marahnya rakyat kecil atas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Kembali ke perang ekonomi, ketika krisis politik merebak di jazirah Arab, pada saat yang sama krisis di Uni Eropa terus berlanjut. Penyatuan moneter melalui zona Euro gagal membentuk blok ekonomi tersendiri karena kapasitas fiskal yang berbeda di antara negara-negara anggota Uni Eropa.

Sementara ketergantungan Uni Eropa atas pasokan gas dari Rusia membuat risau sejumlah pemimpin negeri itu untuk membangun ketahanan energi. Sebelumnya, Amerika Latin - khususnya Venezuela, Bolivia dan Brazil- menolak campur tangan AS secara langsung atau tidak.

SEJAK krisis ekonomi tahun 2008 yang ditandai dengan kekalahan perang industri manufaktur AS terhadap RRC sehingga negeri Paman SAM mengalami defisit

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News