Perangko Lelap

Oleh: Dahlan Iskan

Perangko Lelap
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Hari sudah gelap. Gulita. Tanggal sudah tua. Bulan tidak kelihatan, pun sabitnya. Di dalam gelap itu Taif tidak seperti Batu.

Akan tetapi, dalam gelap pun, bus tahu di mana terminal Taif. Si Yaman ternyata turun di situ.

Satu-satunya penumpang wanita juga turun. Pun dua penumpang lagi. Tinggallah saya dan si Sudan di dalam bus besar menuju Makkah.

Gelap. Kosong gelondang.

Si Sudan jauh di depan. Si Nusantara di belakang. Ini saatnya beraksi. Tanpa risi. Saya pun mencopot semua pakaian. Lalu saya kenakan ihram. Beres.

Tidak perlu lagi bus harus berhenti di miqat –kira-kira setengah jam lagi dari Taif. Tepatnya di Sail Al Kabeer. Hemat waktu.

Sampai Makkah sudah jam 22.00. Perangko belum bisa bertemu amplop.

Mas Bajuri dari Bakkah dan Mas Sodiq dari Harian Memorandum menjemput saya di terminal. Mereka mau menemani saya umrah.

Untuk kembali ke Makkah saya siap mental dapat kursi pojok paling belakang tanpa jendela. Toh, saya masih membawa jendela 7-i ke mana-mana.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News