Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA

Agar Ayah Tak Harus Jadi Turis untuk Momong Anak

Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA
GLOBAL CITIZEN: Rulita Anggraini dan suaminya, Mark Winkel, bersama tiga buah hati mereka di kediamannya di kawasan Manggarai, Jakarta. Foto: Miftahul Hayat/Jawa Pos

Namun, pemerintah melunak terhadap para pelaku perkawinan campuran tersebut. Pada 11 Juli 2006 DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya UU itu disambut gembira para WNI yang bersuami WNA, termasuk Rulita. Sebab, UU Kewarganegaraan yang anyar tersebut memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran.

”Saya lega sekali dengan adanya UU baru ini. Karena itu, saya langsung mengurus status kewarganegaraan ketiga anak saya begitu UU baru ini terbit,” urainya.

Meski begitu, perempuan 49 tahun tersebut mengakui, aturan baru itu masih bersifat terbatas. Status kewarganegaraan ganda tersebut hanya berlaku hingga anak-anak hasil perkawinan campuran berusia 21 tahun.

”Setelah itu mereka harus memilih. Mau jadi WNA atau WNI. Ya, tapi paling enggak ini sudah lumayan lah,” katanya.

Di samping persoalan kewarganegaraan, ada juga masalah izin tinggal bagi suami yang WNA. Sebelumnya para suami WNA tersebut tidak bisa memiliki izin tinggal di Indonesia jika tak punya pekerjaan di Indonesia. Hal itu dinilai tidak adil bagi para pelaku perkawinan campuran tersebut.

”Ini diskriminatif sekali. Masak suami kita kalau mau tinggal dengan anak-anaknya harus pakai visa kunjungan lah, visa liburan lah,” cetusnya.

Namun, persyaratan tersebut kini tidak lagi berlaku. Berdasar UU Nomor 6 Tahun 2011, para WNA diperbolehkan memiliki izin tinggal setelah usia pernikahan dua tahun. ”Jadi, istri bisa mensponsori suami untuk tinggal. Dan izin tinggal tetap itu setelah lima tahun bisa diperpanjang sampai waktu yang tidak ditentukan,” terang Rulita.

Terobosan hukum tersebut tidak muncul begitu saja. Ada banyak pihak yang memperjuangkan. Termasuk yang dilakukan Indonesian Mixed Marriage Society atau Perca. Perempuan kelahiran 26 November itu merupakan salah seorang pendiri Perca. Organisasi tersebut berdiri pada Mei 2008.

Dalam pernikahan beda bangsa, bukan hal mudah menyatukan dua budaya. Namun, yang tak kalah sulit adalah aturan hukum terkait kewarganegaraan hingga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News