Perlu Skema Bantuan untuk Klaster Mahasiswa Terdampak Covid-19

Oleh: Anton Doni Dihen (Ketua Kelompok Studi Aquinas sekaligus Ketua Presidium PP PMKRI 1994-1996

Perlu Skema Bantuan untuk Klaster Mahasiswa Terdampak Covid-19
Ketua Kelompok Studi Aquinas dan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996, Anton Doni Dihen. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Mahasiswa adalah salah satu klaster terdampak pandemi Covid-19 yang belum ditangani secara serius. Belum ada skema bantuan yang secara jelas ditujukan kepada mereka. Pemerintah diharapkan tidak tutup mata terhadap klaster terdampak yang kasat mata ini.

Skema bantuan sembako di perkotaan Jabodetabek yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) belum jelas apakah dapat menjangkau klaster mahasiswa terdampak yang merupakan mahasiswa perantauan yang macet aliran dananya. Ketiadaan dukungan administrasi karena sebagian besar tidak memiliki KTP Jabodetabek merupakan kelemahan mereka dalam mengakses bantuan sosial yang ada.

Oleh karena itu, kalau perhatian terhadap klaster terdampak ini harus dilakukan melalui bantuan sembako, maka perlu ada kebijakan afirmatif dari Pemda Jakarta atau Jabodetabek maupun Pemerintah Pusat untuk melonggarkan persyaratan administrasi untuk mahasiswa perantauan. Tujuannya agar tahapan bantuan sosial berikutnya dapat diakses dan perlu ada sosialisasi yang jelas agar mereka dapat mengakses bantuan ini.

Alternatif kedua adalah melalui jalan BLT Dana Desa. Saya sudah berkirim surat kepada Menteri Desa, dan melakukan komunikasi WhatsApp panjang dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa. Namun demikian terkendala dengan definisi konvensional mereka tentang kewargaan desa dan regulasi bantuan yang ditujukan kepada keluarga miskin.

Saya mengatakan bahwa kewargaan desa haruslah dipahami lebih dari batasan kependudukan. Dan kalau kita lihat jiwa Undang-Undang Desa yang baru, warga Desa tidak harus sekadar dipahami sebagai mereka yang tinggal di Desa dan ber-KTP desa yang bersangkutan.

Warga desa juga mencakup mereka yang merantau, dan anak-anak desa yang merantau untuk urusan pendidikan. Jika konsep itu terlalu longgar, maka ia wajar diperketat dengan batasan administrasi kependudukan di masa normal. Tetapi di tengah masa sulit, konsep kewargaan yang longgar yang sebetulnya tepat untuk keadaan desa tradisional kita dapat diterapkan.

Saya juga mengatakan bahwa Pemerintah perlu melihat fakta keadaan desa secara lebih cermat dan dengan kesadaran akan keberagaman. Keluarga miskin di desa tidak hanya mereka yang bertahan hidup di desa.

Dalam kasus sejumlah daerah di NTT, keluarga miskin di sana keluar dari desa dan merantau mencari pekerjaan dan penghasilan di luar desa. Keluarga miskin, bahkan termiskin itu, yang merantau di luar desa dan di luar negeri.

Mahasiswa dari sejumlah daerah semacam NTT memang patut mendapat perhatian khusus. Data makro tentang kemiskinan dan tingkat pendapatan daerah sudah bisa dijadikan pegangan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News