Pilih Amerika atau Tiongkok

 Pilih Amerika atau Tiongkok
Dahlan Iskan. Ilustrasi: Jawa Pos

Saya belum bisa bahasa mandarin sama sekali. Tidak pula tertarik untuk mempelajarinya. Bahasa aneh. Tulisan aneh. Ruwet.

Saya pilih pakai bahasa isyarat. Sambil menyodorkan sepeda kepadanya. Dia menghindar. Takut. Menolak. Takut kena urusan polisi.

Menerima sepeda dari orang asing. Atau memiliki sepeda tanpa surat-surat. Saat itu memiliki sepeda butut pun harus ada suratnya.

Akhirnya sepeda itu saya taruh di dekatnya begitu saja. Saya copot belnya. Saya bawa pulang ke Surabaya. Untuk kenangan. Dan seperti umumnya barang kenangan yang saya miliki umurnya pun tidak panjang. Hilang. Lupa. Ditaruh di mana. Atau diminta siapa.

Dengan gambaran Tiongkok seperti itu idola saya tetap: Amerika. Negeri inspirasi. Negeri mimpi. Negeri menakjubkan.

Sejak itu tiap enam bulan saya harus ke Amerika. Untuk shopping. Shopping ideas. Belanja ide. Belanja inspirasi. Dalam hati: semoga kelak anak-anak saya bisa sekolah di Amerika.

Lho, mana jawaban atas pertanyaan di Unpad itu? Tentang mengapa sering menulis tentang Tiongkok itu? Maafkanlah. Mungkin besok. Mungkin lusa. Atau di lain hari. Kapan-kapan.(*****)


Berita Selanjutnya:
Pemilu Era Big Data

Waktu itu Tiongkok masih sangat miskin. Lebih miskin dari Indonesia. Cerita-cerita dari Tiongkok adalah tentang kemiskinan, keruwetan, kediktatoran, komunisme.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News