Pilkada Serentak Harus Bersih dari Provokasi SARA

Pilkada Serentak Harus Bersih dari Provokasi SARA
Kotak suara untuk Pilkada. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

Menurut dia, banyak pengamat kadang datangnya secara mendadak dan malah tidak punya kompetensi bisa tampil di media.

Bahkan, di antara mereka kemampuan narasinya juga payah ditambah logikanya yang sempit.

Pengamat yang seperti inilah yang harus diawasi karena bisa menjadi provokator yang bisa menyulut ketidakpuasan di masyarakat. Apalagi, pengamat tersebut berbicara tergantung order.

“Apakah benar orang yang sekolahnya ekonomi, politik, sosial, hukum, bisa menjadi pengamat? Ilmu itu spesifik keahliannya. Orang yang punya potensi keahlian spesifik itulah yang harusnya bicara. Kalau tidak bisa mengakibatkan sentimen dan kontroversi di masyarakat. Belum lagi kalau pengamat itu by order. Pengamat seperti ini bisa jadi hanya akan menambah emosional masyarakat,” terang Syaiful.

Begitu juga lembaga survei. Semua harus dilakukan secara akademik dan terbuka. Seharusnya hasil survei jangan dipublikasi dan hasilnya digunakan untuk merancang program calon atau partai politik tertentu.

Pasalnya, survei itu dilakukan dengan metode berbeda-beda sehingga hasilnya pun tidak sama.

Menurut dia, hal itu bisa mengganggu harmonisasi dan gampang memancing keributan di masyarakat.

“ Kita semuanya harus jadi ‘polisi’ bagi negeri kita, bukan hanya polisi berseragam itu, tapi diri kita dan masyarakat. Dengan pembelajaran yang bagus dan metodologi yang logis, maka kita dan masyarakat akan bisa menjaga sendiri sehingga tidak mudah termakan provokasi,” kata Syaiful. (jos/jpnn)


Potensi munculnya radikalisme menjelang Pilkada Serentak 2018 nanti sangat besar.


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News