Pilkada Tak Langsung Sarat Kepentingan Kekuasaan

Pilkada Tak Langsung Sarat Kepentingan Kekuasaan
Massa yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi damai di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (14/9). Dalam aksinya mereka menolak RUU Pilkada yang dianggap sebagai proses kemunduran demokrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

JAKARTA - Koalisi Pemantau Pemilu (KP2) menolak rencana pemilihan kepala daerah dilakukan di DPRD. Mereka menilai ini merupakan langkah mundur demokrasi.
 
Alasannya, pemilihan di DPRD tak sesuai dengan semangat reformasi. Malah pilkada langsung merupakan koreksi terhadap pemilihan di DPRD yang selama ini dipraktikkan di masa Orde Baru.
 
“Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tak sinkron dengan disain sistem otonomi daerah yang sekarang sedang kita laksanakan,” ujar salah seorang pengusung KP2, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Minggu (14/9).
 
Menurut Jeirry, KP2 menilai jika tak lagi dipilih secara langsung, maka kepala daerah tak lagi akan bertanggungjawab kepada rakyat secara langsung, tapi kepada segelintir elit politik di DPRD yang belum tentu dapat merupakan wakil rakyat yang sesungguhnya.
 
Sebab selama ini lebih banyak anggota DPRD berperilaku sebagai ‘wakil rakyat’ yang formal karena ‘terpaksa’, harus dipilih oleh rakyat dalam Pemilu, tapi bukan wakil rakyat yang sesungguhnya.
 
“Dalam konteks itu, alasan-alasan yang sering dikemukakan terlihat hanya untuk melegitimasi hasrat politik berkuasa dan mengingkari aspirasi rakyat,” katanya.
 
KP2 menolak pilkada lewat DPRD, karena pemilihan secara langsung sudah mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik, yang memiliki komitmen sungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyat.
 
“Pilkda tak langsung sarat dengan kepentingan kekuasaan atau jabatan. Sangat jelas terlihat elite partai ingin menguasai jabatan kepala daerah tanpa melalui mekanisme langsung oleh rakyat,” katanya.
 
Alasan lain, rakyat saat ini menurut Jeirry, pada umumnya senang dengan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebab melalui itu, rakyat dapat dengan sebenarnya menjalankan kedaulatan mereka dengan cara terlibat secara langsung menentukan siapa kepala daerah yang layak memimpin daerah mereka.
 
“Karena itu KP2 menolak RUU Pilkada yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Karena sebuah kemunduran yang nyata dan menyalahi desain otonomi daerah. Selain itu Pilkada melalui DPRD hanya akan melanggengkan kekuasaan lokal, sebab hanya diisi elite-elite parpol yang tercerabut dari rakyatnya,” kata Jeirry.
 
KP2 antara lain didukung oleh M. Afifuddin dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masyikuruddin Hafidz (JPPR) dan Sunanto (JPPR) Jojo Rohi  dari Komite Independepn Pemantau Pemilh (KIPP Indonesia), Yusfitriadi dari Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP), Toto Sugiarto dari Soegeng Sarjadi Syndicte (SSS), pemerhati pemilu Ahsanul Minan, dan Roy Salam dari Indonesia Budget Center (IBC). (gir/jpnn)

 


JAKARTA - Koalisi Pemantau Pemilu (KP2) menolak rencana pemilihan kepala daerah dilakukan di DPRD. Mereka menilai ini merupakan langkah mundur demokrasi.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News