PKI dan Baladewa

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

PKI dan Baladewa
Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta Timur. Monumen tersebut merupakan penanda tentang peristiwa G30S/PKI. Foto: Ricardo/JPNN.com

Episode di rumah Nasution itu menunjukkan kebrutalan penculikan itu. 

Peristiwa itu juga menunjukkan bahwa para penculik tidak dibekali cukup persiapan untuk mengenali calon korbannya. 

Ketika di pagi buta penculik menggedor rumah Nasution mereka tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai Nasution. 

Ketika Pierre Tendean mengaku ‘’Saya Nasution’’, para penculik percaya begitu saja. 

Hal itu memberi waktu yang cukup kepada Nasution untuk meloloskan diri.

Drama nasional itu nyaris berkembang menjadi perang terbuka di Jakarta antara pasukan yang setia kepada Presiden Sukarno, dan pasukan Angkatan Darat (AD) yang berada di bawah kendali Letjen Soeharto yang menjadi komandan Kostrad (Komando Stragetis Angkatan Darat). 

Soeharto dengan ketenangan dan kecerdikan yang terukur bisa mengendalikan keadaan dan membalikkannya dengan cepat.

Sehari setelah penculikan, para pemberontak bisa diredam dan jenazah para korban penculikan bisa diketemukan di daerah Lubang Buaya, yang berdekatan dengan markas besar Angkatan Udara. 

Dalam sejarah Indonesia modern, peristiwa 30 September 1965 menjadi episode paling kelam dan sekaligus paling brutal.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News