Proses Pembentukan RUU Cipaker Tidak Partisipatif, Hanya Mendengarkan Kalangan Pengusaha

Proses Pembentukan RUU Cipaker Tidak Partisipatif, Hanya Mendengarkan Kalangan Pengusaha
Seorang buruh membawa poster penolakan terhadap Omnibus Law. Foto: M Fathra/JPNN.com

Hal ini, kata dia, terlihat dari skema pemberian izin yang sentralistis yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah hanya diberikan fungsi pengawasan saja atas hal tersebut.

Namun, dia merasa ragu pemerintah pusat siap menangani seluruh perizinan di seluruh daerah Indonesia, ketika sentralisasi diterapkan.

Toh, ujar dia, ketentuan sentralisasi jelas melanggar Pasal 18 ayat 2 UUD 1945. Kemudian tidak sejalan dengan tujuan utama kebijakan politik setelah Orde Baru serta mencederai eksistensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

"Di sisi lain, pemerintah daerah yang sebenarnya mengerti keadaan dan kondisi masing-masing daerahnya dan dapat membuat keputusan mengenai pemberian izin atas suatu kegaiatan di daerah tersebut," ungkap dia.

Berikutnya, kata Rahmah, RUU Cipta Kerja justru tidak menjamin kepastian hukum dan jauh dari cita-cita reformasi. Sebab, ujar dia, banyaknya pendeligasian pengaturan lebih lanjut pada peraturan pemerintah. 

"Dikhawatirkan pembentukan peraturan pemerintah memakan waktu yang lama serta menghambat pelaksanaan segala 

kegiatan yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja," tutur dia  

"Ini merupakan potret nyata bahwa RUU Cipta kerja tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana dimandatkan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," beber dia.

Proses pembentukan RUU Ciptaker melanggar prinsip kedaulatan rakyat seperti tertuang di dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News