Psikologi Kepemimpinan dan Batas Usia Capres-Cawapres

Oleh: M. Zaki Mubarak, Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Psikologi Kepemimpinan dan Batas Usia Capres-Cawapres
Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) M. Zaki Mubarak. Foto: Dok. IMM

Sehingga, syarat batas usia minimal capres-cawapres sudah semestinya disesuaikan dengan fakta statistik tersebut. Lagi pula, bila hak memilih bisa diberikan kepada penduduk berusia 17 tahun ke atas, kenapa tidak hak dipilih? Bukankah aturan tak boleh diskriminatif dengan alasan apapun?

Selain itu, aturan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun juga berpotensi menjadi bumerang bagi konsolidasi demokrasi.

Hal ini karena telah menghilangkan hak dipilih sebagian besar masyarakat dewasa di negeri ini dan menempatkan mereka dalam diskriminasi.

Padahal, seperti kata Robert A Dahl dalam Dilemma of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, salah satu syarat tercapainya konsolidasi demokrasi adalah memberi hak memilih dan dipilih kepada seluruh masyarakat dewasa secara setara.

Sebab, tanpa hal itu akan terjadi despotisme politik yang bisa mengarah kepada lahirnya otoritarianisme baru.

Salah satu tanda despotisme politik ketika kandidat yang muncul dari pemilu ke pemilu adalah orang itu-itu saja dan berasal dari lingkaran itu-itu saja.

Seolah tak ada penduduk lain yang lebih layak dari mereka untuk memimpin negara. Ironisnya, kita bisa menemukannya di deretan nama yang disebut di awal tulisan ini.

Tentu kita berharap demokrasi di negeri ini bisa terus berjalan lebih lama lagi. Sama seperti halnya kita berharap bisa mendapatkan pemimpin yang benar-benar menjadi bagian dari rakyat.

Pemimpin yang lahir dari pendekatan lama adalah sosok yang dianggap lebih agung, terpisah dari kumpulannya, dan selalu menuntut kepatuhan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News