Puluhan Sertifikat Tanah di Pulau Pari Langgar Administrasi

Puluhan Sertifikat Tanah di Pulau Pari Langgar Administrasi
Sertifikat tanah. Foto: Radar Semarang

Proses pengukuran tanah, kata Dominikus, terkesen dimonopoli karena tidak menginformasikannya kepada warga Pulau Pari atau yang berbatasan dengan bidang-bidang tanah.

"Kedua, hasil pengukuran atau daftar peta bidang tanah tidak diumumkan sehingga warga Pulau Pari tidak memiliki kesempatan menyatakan keberatan," kata Dominikus.

Selain itu, Ombudsman menilai penerbitan SHM menyebabkan terjadinya monopoli kepemilikan hak atas tanah dan peralihan fungsi lahan di Pulau Pari yang bertentangan dengan Pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Sementara untuk penerbitan 14 SHGB, Ombudsman menilai Kantor Pertanahan Jakarta Utara melanggar UU Nomor 5 Tahun 1960, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Penerbitan 14 SHGB di Pulau Pari mengabaikan fungsi sosial tanah, adanya monopoli kepemilikan hak, mengabaikan kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang, melanggar RTRW, serta melanggar asas-asas pemerintahan yang baik," ucapnya.

Selain itu, Dominikus menilai Kantor Pertanahan Jakarta Utara tidak melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pemegang SHGB atas nama PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa sehingga pemegang SHGB sejak 2015 tidak melakukan aktivitas di atas tanah atau membiarkan tanah itu telantar.

Oleh karena itu, Dominikus meminta Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta agar melakukan evaluasi.

Terutama terkait proses penerbitan 62 SHM dan 14 SHGB di Pulau Pari sebagai bentuk akuntabilitas BPN kepada masyarakat secara komprehensif.

Ombudsman menemukan malaadministrasi dalam penerbitan 62 SHM dan 14 SHGB di Pulau Pari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News