Rajapaksa

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rajapaksa
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa (kanan) dan saudara laki-lakinya, mantan presiden Mahinda Rajapaksa (kiri). Foto: ANTARA/REUTERS/DINUKA LIYANAWATTE/TM

Ekonomi memburuk akibat praktik korupsi yang meluas. Keluarga Gotabaya banyak menerima suap dan sogok dari berbagai transaksi ekonomi. 

Karena merasa mempunyai legitimasi yang kuat, maka keluarga Gotabaya merasa bebas melakukan apa saja. 

Kekuasaan klan Rajapksa yang nyaris mutlak mengakibatkan tidak adanya oposisi yang efektif. Hampir dua per tiga kursi parlemen dikuasai oleh Rajapaksa yang menyebabkan mekanisme checks and balances tidak berjalan dengan efektif.

Rajapaksa makin memperkuat konsolidasi politiknya dengan melakukan amendemen terhadap konstitusi yang memberi kewenangan yang sangat besar kepada presiden. 

Dengan amendemen itu, masa jabatan presiden yang semula hanya dua periode diperpanjang menjadi tiga periode.

Ketiadaan oposisi menyebabkan pemerintah berjalan miring, tidak seimbang, karena tidak ada kontrol. Karena itu, ketika kondisi sudah makin parah dan gawat, tidak ada early warning yang memberi peringatan. Tidak adanya warning inilah yang menyebabkan krisis politik meledak.

Rakyat yang kehilangan kesabaran mulai berani melakukan protes dan demonstrasi. 

Rezim Rajapaksa menjawab protes ini dengan menurunkan demonstrasi tandingan yang menyebabkan benturan yang mengakibatkan sejumlah kematian.

People power menumbangkan rezim yang tidak kompeten mengurus negara. Politik dinasti keluarga Rajapaksa akhirnya ambyar dipaksa mundur oleh kekuatan rakyat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News