Rambo Rasa Tiongkok

Rambo Rasa Tiongkok
Dahlan Iskan. Ilustrasi: Jawa Pos

Mungkin makalah-makalah ilmiah PW Singer kurang dapat perhatian dari pemerintahnya. Peringatannya secara ilmiah mungkin tidak dianggap menarik.

Maka Singer mengajak wartawan terkemuka, August Cole menuangkan pikiran ilmiahnya itu ke dalam karya fiksi. Lantas dia wujudkan dalam bentuk novel.

Maka kalau pun ada unsur dramatisasi menjadi sah. Dengan dalih novel toh memang fiksi.

Mungkin Singer juga tidak bermaksud memberi warning pada Indonesia. Bahwa dia menceritakan Indonesia akan berantakan pada tahun 2030 mungkin hanya untuk menambah dramatisasi.

Justru kita sendiri yang harusnya menganggap novel itu sebagai warning. Agar Indonesia jangan sampai jatuh menjadi negara gagal.

Memang di tengah menggunungnya utang Indonesia, novel itu seperti tiba-tiba ibarat ramalan. Apalagi struktur utangnya berat ke pasar bebas. Bukan seperti utang di zaman lama yang lebih multilateral antar-negara.

Bersamaan pula dengan data yang dikeluarkan BPS bahwa jumlah orang miskin ternyata justru bertambah. Dan soal keadilan juga lagi hangat dipersoalkan.

Padahal ketika novel itu ditulis (2014, terbit 2015) kondisi Indonesia belum seperti itu. Maka kita harus menganggap novel itu peringatan yang baik. Demikian juga bagi Amerika.

Menyaksikan Operation Red Sea dan Wolf Warrior 2, lalu mencermati novel Ghost Fleet rasanya tahun 2030 itu seperti di depan mata. Padahal dua-duanya fiksi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News