Reputasi Kita dari Musibah

Oleh: Rhenald Kasali*

Reputasi Kita dari Musibah
Reputasi Kita dari Musibah

Tanpa kita sadari, cara kita menanganinya yang terkesan lumpuh di masa lalu juga menjadi penilaian dunia dan berpengaruh serius terhadap reputasi bangsa dalam banyak hal. Dunia bisa jadi belum sepenuhnya paham bahwa tantangan alam yang dihadapi Indonesia ini begitu dahsyat. Karena itu, mereka hanya melihat kita tidak mampu, titik!

Misalnya, ketika tsunami melanda Aceh, bukan pemerintah pusat yang tiba menolong warga kita pada kesempatan pertama, melainkan tentara dengan pesawat berbendera Singapura dan Amerika Serikat. Sementara bantuan internasional terus berdatangan, kita masih sibuk rapat sana, rapat sini.

Pada kasus hilangnya pesawat MH370 di Samudra Hindia dan tenggelamnya pesawat Adam Air 574 di perairan Majene pada 2007, kita juga terkesan tak berdaya. Sementara berbagai bangsa sibuk unjuk ketangkasan dalam upaya menemukannya, kita baru sebatas menjadi penonton.

Demikian jugalah korban yang terjadi dalam berbagai bencana alam: letusan Gunung Merapi, longsor di Banjarnegara, atau tenggelamnya kapal Tampomas. Semua menjadi headline dunia dan terkesan kita masih amatiran. Pencegahan dan peringatan dini malfunctioning; proses evakuasinya lamban dan terkesan tradisional dengan alat pacul dan otot manusia. Bukan teknologi.

Ajang Pamer Teknologi
Tapi, satu hal kita saksikan, setiap terjadi bencana besar adalah ajang berbagai negara unjuk kemampuan manajerial dan teknologi. Misalnya pada kasus hilangnya pesawat MH370. Di sana kita menyaksikan unjuk kemampuan teknologi navigasi, teknologi sensor, hingga penggunaan robot untuk melacak benda-benda yang berada di dasar laut yang dalam dari berbagai negara: Prancis, Amerika, Australia, Tiongkok, dan Kanada.

Namun baiklah, kini secara membanggakan tiba-tiba kita sanggup menangani kasus AirAsia secara profesional. Tiba-tiba dengan percaya diri kita mendengar para pakar mengatakan bahwa kita punya alat-alatnya. Bangga saya menonton ketangkasan Basarnas.

Penanganan medianya juga baik. Ini mendapat pujian dunia. Bahkan, kita diakui sebagai negara yang paling berpengalaman dengan tim SAR terbaik di kawasan. Ini sekaligus memupus prasangka bahwa kita bukan bangsa pembelajar. Terbayar sudah biaya sekolah kita yang amat mahal itu. Itu sebabnya, kita pantas memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Basarnas dan segenap pendukungnya.

Pelajaran Berharga
Tapi, kita tentu tak boleh larut dalam kesombongan. Dari kasus jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, saya kira kita bisa memetik beberapa pelajaran berharga. Apa saja?

Pertama, soal kepemimpinan. Dalam kasus ini, saya kira kita bisa melihat dengan jelas betapa cepat dan tegasnya duet pemimpin kita, Jokowi-JK, hingga panglima TNI. Alignment vertikal dan horizontal para aparatur terkait dan pasukan di lapangan dalam bekerja terlihat solid. Kita melihat komitmen yang jelas, tak ada yang memulai dengan keluhan tak ada ”ransum” atau logistik. Semua turun dan semua bergotong royong saling melengkapi antara militer dan lembaga science (BPPT). Hubungan dengan dunia internasional pun digarap dengan baik.

Kedua, dengan kepemimpinan yang tegas, arahan yang jelas, soliditas tim pun tercipta. Kita bisa melihat hal itu. Panglima TNI mengirimkan personelnya dan dengan tegas menempatkan timnya di bawah koordinasi kepala Basarnas yang dipimpin jenderal bintang tiga. Jadi tidak berjalan sendiri. Begitu pula tim dari Kepolisian Negara RI (Polri) dan masyarakat.

RASA duka kita atas musibah yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501 belum terbayar kendati banyak pesta malam pergantian tahun yang telah diubah menjadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News