Revitalisasi Transmigrasi Menyebar Ratakan Skil

Revitalisasi Transmigrasi Menyebar Ratakan Skil
Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Ja'far. Foto: Dok JPNN

jpnn.com - Banyak pihak yang menilai, transmigrasi itu sisa-sisa peninggalan era orde baru yang sudah usang. Kuno, sudah 42 tahun yang silam, sudah tidak sesuai dengan zamannya, saatnya direvitalisasi. Bahkan, jika perlu sudah tidak perlu diurus lagi, apalagi dikembangkan sampai dipimpin oleh seorang Dirjen? Buang-buang energi.  

 

Mengapa pemikiran seperti itu berkembang? Pertama, transmigrasi terlalu banyak menimbulkan ekses kultural dan akhirnya merembet ke politik. Banyak penduduk lokal, suku asli yang merasa “dijajah” oleh orang yang lahir dan besar di Jawa. Dalam jangka panjang, itu bisa mengancam keutuhan NKRI.

Kedua, mengapa tidak dengan skema yang lebih manis. Buat desa menjadi maju, berdaya, dengan investasi besar, agar menjadi simpul ekonomi baru yang kokoh. Secara otomatis, tidak perlu disuruh, dikoordinasi, dibiayai, orang kota akan datang ke desa, dan orang desa enggan ke kota. Ini sekaligus menyelesaikan problem urbanisasi yang makin sulit dikendalikan.

Ketiga, biaya untuk memindahkan orang, dari satu pulau ke pulau lain, itu bisa dioptimalkan untuk membangun “kota” di desa. Percepatan pembangunan daerah tertinggal, daerah terluar, daerah terisolir, akan semakin kencang. Aksesibilitas di kawasan-kawasan tak tersentuh itu menjadi lebih longgar dan lancar.

Apa jawab Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, H Marwan Ja’far SE, SH, MM, MSi? “Wah, tidak begitu logikanya. Juga tidak seseram itu fakta di lapangan. Transmigrasi itu masih sangat dibutuhkan oleh negeri dengan luasan seperti Indonesia, dengan perbedaan skil, etos kerja, tingkat pendidikan, pengalaman bekerja, tradisi, dan kemampuan manajerial penduduk yang cukup jauh. Gap yang tajam itu harus diperdekat, jarak perbedaan harus makin tipis, dan salah satu caranya adalah program transmigrasi ini,” kata dia.

Transmigrasi yang dulu berjalan berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1972 itu, adalah salah satu cara untuk menularkan ilmu, pengalaman, etos bekerja, tanggung jawab, dan sekaligus berbaur dalam kehidupan sosial yang harmonis. “Ingat, Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan suku, bahasa, adat istiadat itu tidak boleh menyurutkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kalau ada yang berasumsi “penjajahan” itu berlebihan. Itu pasti sudah dipolitisasi, sudah masuk kepentingan politik tertentu,” ungkapnya.

Di sinilah pentingnya transmigrasi. Agar kawasan terpencil juga ikut belajar bersama, berkembang bersama, dan akhirnya maju bersama-sama. “Siapa yang mau meninggalkan Jawa, untuk hidup dan membangun keluarga di daerah terpencil? Daerah tertinggal? Daerah terluar? Minim fasilitas? Siapa yang mau suka rela, atas inisiatif sendiri, atas biaya sendiri? Realistis saja, itu sangat sulit,” kata Marwan.

Banyak pihak yang menilai, transmigrasi itu sisa-sisa peninggalan era orde baru yang sudah usang. Kuno, sudah 42 tahun yang silam, sudah tidak sesuai

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News