Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan

Oleh: Setyo Budiantoro?

Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan
Setyo Budiantoro. Foto: Dokpri for JPNN.com

Revolusi Nutrisi Anak

Langkah lebih lanjut dari revolusi gizi, anak-anak pada kategori pendidikan usia dini (PAUD), taman kanak-kanak dan sekolah dasar di desa-desa, perlu mendapatkan makan gratis. Makanan yang diberikan adalah makanan yang bernutrisi yang berasal dari desa tersebut. Beberapa superfood lokal yang bisa disediakan misalnya ikan, telur, sorgum, telur, kacang hijau, tauge, alpukat atau buah lainnya.

Dana desa perlu dialokasikan pula untuk perbaikan nutrisi anak-anak. Ini berarti ada dua hal yang bisa didapat, status gizi maupun kesehatan anak meningkat dan ekonomi desa juga berkembang. Tidak perlu inferior, program makan gratis pada anak di sekolah juga dilakukan di negara maju seperti Inggris sekalipun, terutama pada keluarga berpendapatan rendah.
Siapa tidak kenal Popeye? Sang pelaut kerempeng bertenaga super dengan otot kekar menggelembung setelah makan bayam dan menaklukkan Brutus yang berbadan raksasa. Meski kaya nutrisi, bayam kurang disukai anak karena rasanya dianggap tidak enak. Di Amerika, Popeye segera membuat bayam menjadi makanan favorit ketiga setelah kalkun dan es krim.

Film kartun Popeye memang sengaja diproduksi untuk mengatasi persoalan berat malnutrisi anak tahun 1920-an di Amerika untuk merubah pola makan anak. Popeye bahkan juga menyelamatkan petani sayur dari Great Depression 1930-an, karena penjualan sayur meningkat signifikan. Inspirasi Popeye perlu diambil, mempengaruhi alam bawah sadar melalui hiburan mendidik membangun budaya sehat dan sekaligus menggerakkan ekonomi, apalagi mengingat konsumsi sayur per kapita Indonesia begitu rendah.

Panduan Nutrisi

Untuk kebutuhan nutrisi bagi masyarakat secara umum, Indonesia tidak memiliki panduan memilih makanan yang memadai. Panduan makanan justru berasal dari iklan, terutama televisi. Mungkin belum lenyap dari ingatan tentang kontroversi iklan susu kental manis. Telah puluhan tahun susu kental manis menjadi andalan jutaan orang di Indonesia untuk mengkonsumsi susu.

Seperti disambar geledek, tiba-tiba Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa susu kental manis bukanlah produk susu bernutrisi. Minum “susu” secara teratur dari produk susu kental manis, bukannya kesehatan yang didapat namun justru beresiko terkena diabetes dan obesitas, karena kadar gulanya sangat tinggi. Sungguh “kebangetan”, ketersesatan persepsi bisa terjadi selama puluhan tahun.

Produk susu kental manis hanyalah salah satu contoh, kemungkinan cukup banyak produk minuman atau makanan lain yang diiklankan menyehatkan atau bernutrisi, namun justru bisa merusak kesehatan terutama bila berlebihan atau dikonsumsi balita dan anak. Konsumen Indonesia tidak biasa memeriksa kandungan nutrisi produk makanan atau minuman. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk memberikan panduan, bukan hanya dari iklan?

Untuk kebutuhan nutrisi bagi masyarakat secara umum, Indonesia tidak memiliki panduan memilih makanan yang memadai. Panduan makanan justru berasal dari iklan, terutama televisi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News