Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu

Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu
Prosesi Ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir. Foto: IST

Akhirnya rombongan perantauan ini memasuki Selat Malaka. Dan tiba di satu kampung kecil bernama Ping’i dekat Kuala Kubu. Menemukan daratan dan berinteraksi dengan masyarakat (Melayu) adalah sebuah angin segar bagi rombongan itu. Kedua pihak melakukan barter komoditas masing-masing. Ikan ditukar dengan sayur mayur, buah-buahan, beras dan lainnya. Mendengar ada etnis Tionghoa yang sebelumnya tinggal di Panipahan, maka mereka tertarik bergabung dan tinggal beberapa saat.

Namun keamanan laut di Panipahan tidak sebaik yang mereka kira. Lanun berkeliaran dan membuat resah nelayan. Rombongan kembali terpukul dan memilih menemukan tempat idaman. Mereka pun berangkat lagi. Sebagian rombongan memilih menyinggahi dan menetap di Teluk Palas, selatan Panipahan. Dan satu tongkang yang dipimpin Ang Mie Kuah dan 17 keluarga semarga Ang berlayar ke daerah Muara Kubu. Tiba di muara Sungai Rokan, mereka bisa menangkap hasil laut lebih dari biasanya. Di sinilah mereka baru bisa mengakhiri tujuan pelayarannya. Akhirnya banglimau pun didirikan. Dan inilah cikal bakal Bagansiapiapi yang kelak dikenal dengan produsen ikan ternama sepanjang sejarah.

Tongkang pelayaran yang dianggap berjasa itu kemudian dibakar sebagai bentuk tanda syukur terhadap tanah baru. Mereka menetapkan niat tidak pulang lagi. Mereka meyakini Dewa Ki Ong Ya telah menjaganya sepanjang pelayaran. Oleh karena itu, bakar tongkang erat kaitannya dengan Dewa Ki Ong Ya. Meskipun keturunan Tionghoa telah banyak keluar Kota Bagansiapiapi, mereka akan ziarah pada saat Bakar Tongkang. Mereka telah melupakan Hopin di Tiongkok Selatan, mereka hanya ingin pulang ke Bagansiapiapi.

Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu

Ajang Pariwisata Internasional

Bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Propinsi Fujian - China, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.

Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan Selat Malaka tersebut.

Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang yang kesemuanya bermarga Ang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.

REPLIKA tongkang (perahu) berukuran 8x2 meter itu diarak dari klenteng Ing Hok King, sebuah rumah ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News