Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu

Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu
Prosesi Ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir. Foto: IST

Perjalanan Tongkang hingga ke Bagansiapiapi

Sejarah bakar tongkang bermula dari kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagan Siapi-api tentang ritual leluhur mereka memuja Dewa Kie Ong Ya atau dewa laut. Saat Provinsi Fujian, Tiongkok dilanda kerusuhan, para leluhur ini melarikan diri menggunakan kapal (tongkang) dan membawa patung Dewa Kie Ong Ya dalam pelayaran mereka.

Terombang-ambing di tengah lautan, para warga Tionghoa ini tak henti memanjatkan doa agar diberi keselamatan. Pada akhirnya mereka selamat dan mendarat di kota Bagan Siapi-api. Oleh mereka, kapal kayu tersebut dibakar agar tidak bisa balik kenegri asal mereka dan mereka bersumpah bahwa Bagan Siapiapi merupakan penganti tanah leluhur mereka.

Kisah yang terjadi pada abad ke 18 tersebut, menyisakan sejarah yang panjang. Dari empat tongkang yang berlayar waktu itu, hanya satu yang selamat ke tujuan dan berlabuh di Bagansiapiapi.

Sementara kisah lainnya menceritakan, pelayaran orang Tionghoa ini dipicu karena keinginan yang kuat untuk mengubah nasib, termasuk ketidaknyamanan di negerinya oleh berbagai kerusuhan politik dan kemiskinan yang makin menjadi-jadi. Konon, di pasar-pasar pun teleh tersedia tempat penjualan bayi secara terbuka agar bayi-bayi itu  mendapatkan orang tua baru yang dapat memberikan mereka kehidupan lebih baik.

Ketika akhirnya mereka memilih keluar dari tanah yang menderita itu, mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. Namun mereka bertekad untuk tetap melakukannya. Mereka serta merta membawa patung dewa-dewa, di antaranya Dewa Taisun Ong Ya dan Kie Ong Ya di dalam kapal kecil berpenumpang banyak itu.

Di tengah perjalanan, rombongan itu sempat singgah di satu kampung bernama Se Se di Thailand Selatan. Sempat mereka berniat dan merasa cocok dengan lingkungan di sana, dan ingin mengembangkan usaha. Hubungan yang baik di antara pendatang dan penetap pun terjalin. Namun ketika salah satu pemuda rombongan Tionghoa ini menjalin hubungan dengan anak gadis setempat, situasi berubah. Tidak ingin kondisi semakin buruk, rombongan memilih meninggalkan tanah yang sudah sempat terasa cocok itu.

Rombongan Tionghoa perantauan yang dikenal juga dengan Hoa Kiaw ini memasukkan perbekalan ke dalam kapal sebanyak mungkin. Mereka berlayar ke arah selatan lagi, meninggalkan lebih jauh kampung nenek moyangnya. Badai kecil di tengah laut mengombang-ambing tongkang yang memang sudah over load. Penumpangnya sebagian jatuh ke laut dan hanya dua kapal bernama Se Gun dan Ci Kwee yang bisa meneruskan pengarungan.

REPLIKA tongkang (perahu) berukuran 8x2 meter itu diarak dari klenteng Ing Hok King, sebuah rumah ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News