Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu

Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu
Prosesi Ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir. Foto: IST

Cahaya terang yang dilihat ke-18 perantau ini pada waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang di atas bagan (tempat penampungan ikan di pelabuhan). Sehingga para perantau menamakan daratan tersebut dengan nama Baganapi yang kini dikenal sebagai Bagansiapiapi.

Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa Bagansiapiapi. Sehingga mayoritas warga Tionghoa Bagansiapiapi kini adalah bermarga Ang atau Hong.

Pada penanggalan Imlek bulan kelima tanggal 16, para perantau menginjakkan kaki di daratan tersebut, mereka menyadari bahwa di sana terdapat banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah perantauan tersebut.

Sebagai wujud terima kasih kepada dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar Tongkang yang ditumpangi mereka sebagai sesajen kepada dewa laut.

Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak sanak-keluarga dari Negeri Tirai Bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak. Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut di-ekspor ke berbagai benua lain hingga Bagansiapiapi menjadi penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.

Perdagangan di selat Melaka semakin ramai hingga membuat Belanda melirik Bagansiapiapi sebagai salah satu basis kekuatan laut Belanda, yang kemudian oleh Belanda membangun pelabuhan yang di Bagansiapiapi, konon katanya pelabuhan tersebut adalah pelabuhan paling canggih saat itu di selat Melaka.

Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi, tapi ada juga hasil karet alam yang juga sangat terkenal. Di masa perang dunia I dan perang dunia II, Bagansiapiapi disebut sebagai salah satu daerah penghasil karet berkualitas tinggi yang saat itu banyak sekali dipakai untuk kebutuhan peralatan perang seperti ban dari bahan karet.

Pengolahan karet alam tersebut dilakukan sendiri oleh masyarakat Bagansiapiapi di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Namun setelah perang dunia II selesai, permintaan akan karet semakin menurun hingga beberapa pengusaha menutup pabrik karet tersebut.

REPLIKA tongkang (perahu) berukuran 8x2 meter itu diarak dari klenteng Ing Hok King, sebuah rumah ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News