Rugikan Publik, Monopoli Kepemilikan Frekuensi Harus Dikoreksi

Rugikan Publik, Monopoli Kepemilikan Frekuensi Harus Dikoreksi
Rugikan Publik, Monopoli Kepemilikan Frekuensi Harus Dikoreksi
Senada dengan Hanif, perwakilan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), Komeng mengatakan,  carut-marut dunia penyiaran ini sesungguhnya berasal dari tidak dijalankannya UU Penyiaran. Ironisnya, kata dia lagi, sikap pemerintah yang tidak tegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 50 Tahun 2005 semakin memberi ruang kepada para pemilik media bermodal kuat untuk mempermainkan UU.

 

“Itu pangkal masalahnya. Karena itu yang harus dikoreksi. Kami ingin pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika harus menjadi penegak aturan, tidak membuat tafsir sendiri yang merugikan publik,” kata Komeng.

 

Ditegaskannya, uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan langkah terakhir untuk menyelamatkan industri penyiaran. "Upaya ini sama sekali bukan untuk menyerang dan membatasi industri penyiaran, tapi kami ingin kembalikan ke roh awal yaitu penyiaran yang demokratis," tambahnya.

 

Dia mencontohkan, akuisisi PT EMTK atas Indosiar. Pemerintah melakukan pembiaran UU Penyiaran dikangkangi, padahal EMTK sendiri sebelumnya jelas-jelas melanggar uu dengan menguasai 2 frekwensi yakni memiliki SCTV dan O Channel. Pemerintah juga membiarkan grup Vivanews memiliki sekaligus 2 frekwensi yakni ANTV dan TVONE, bahkan pemerintah tutup mata saat grup vivanews melakukan go publik saham atas penggabungan 2 frekwensi itu. Jauh sebelumnya pemerintah membiarkan MNC grup menguasa 3 frekwensi yakni RCTI, GLOBALTV DAN MNCTV.(fuz/jpnn)

JAKARTA - Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Hanif Suranto berpendapat, monopoli kepemilikan frekuensi lembaga penyiaran


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News