RUU HIP Jadi BPIP, Fahira Idris: Jangan Lengah Harus Tetap Dikritisi

RUU HIP Jadi BPIP, Fahira Idris: Jangan Lengah Harus Tetap Dikritisi
Anggota DPD RI Fahira Idris. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Setelah gelombang protes dan penolakan yang makin meluas, DPR dan Pemerintah telah memutuskan untuk menunda Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Namun, di tengah keputusan penundaan ini, Pemerintah dan DPR sepakat mengubah pembahasan Rancangan RUU HIP menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP).

Perubahan ini terkesan dipaksakan, karena RUU BPIP hanya memuat ketentuan tentang tugas, fungsi, wewenang, dan struktur kelembagaan BPIP yang sebenarnya payung hukum bisa diatur setingkat peraturan presiden (perpres).

Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan walau judul RUU HIP diubah menjadi RUU BPIP dan substansinya sudah berbeda, publik diharapkan tetap mengawal dan mengkritisi RUU BPIP.

Menurut Fahira, baik Pemerintah maupun DPR menyatakan substansi RUU ini jauh berbeda dengan RUU HIP. Alasannya antara lain tidak lagi membahas pasal-pasal kontroversial seperti penafsir filsafat dan sejarah Pancasila dan lainnya, tetapi publik diminta tidak lengah.

“Perubahan RUU ini (dari RUU HIP ke RUU BPIP) jangan sampai membuat public lengah. Kita semua harus terus kawal dan kritisi. Pertanyaan awal yang perlu kita ajukan adalah apakah perlu badan seperti BPIP diatur khusus dalam sebuah undang-undang? Jika hanya soal tupoksi bukannya sudah diatur dalam perpres (Perpres No.7/2018 tentang BPIP)?,” tukas Fahira Idris di sela-sela Sosialisasi Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, di Jakarta, Minggu (19/7).

Menurut Fahira, pembahasan sebuah UU selain memerlukan energi dan waktu yang panjang juga menghabiskan anggaran. Itulah kenapa parameter utama lahirnya dan pembahasan sebuah RUU adalah sejauh mana RUU tersebut dibutuhkan oleh rakyat. Jika sebuah persoalan, isu, ataupun pengaturan sebuah badan lembaga negara tidak langsung menyentuh hajat hidup orang banyak maka payung hukumnya cukup peraturan di bawah UU misalnya Perpres, Keppres, atau peraturan lainnya karena akan lebih efektif dan efisien.

“Makanya harus dikonkretkan dulu sejauh mana strategisnya BPIP terhadap hajat hidup orang banyak sehingga dia harus diatur dalam sebuah UU. Sejauh mana urgensi lembaga ini sama atau setara dengan KPK atau MK yang memang dipayungi UU Khusus. Jika publik tidak mendapatkan penjelasan yang rasional dan konkret maka penolakan pasti akan terjadi lagi,” ujar Senator Jakarta ini.

Selain itu, lanjut Fahira, jika pun nanti RUU BPIP ini tetap akan dibahas maka hal yang harus dikedepankan Pemerintah dan DPR adalah keterbukaan dalam proses pembahasannya. Dari keterbukaan dan partisipasi publik ini maka akan diketahui apakah lembaga BPIP memang harus diatur dalam sebuah UU khusus atau cukup hanya diatur oleh peraturan lain di bawah UU.

Fahira Idris berharap perlu memberi ruang seluas-luasnya kepada publik untuk mengkritisi perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News