Safari Djauhari

Oleh: Dahlan Iskan

Safari Djauhari
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Dino sudah tiga tahun di Beijing. Berarti ia belum pernah tahu bagaimana Beijing dalam keadaan normal. Saat ia mulai bertugas Beijing sudah dalam keadaan darurat Covid-19. Sebelum itu Dino adalah direktur Eropa 1 di Kemenlu. Sebelumnya lagi bertugas di London dan Paris.

Dino lahir di Bandung tapi SMA-nya di Belanda. Lalu mencoba kuliah di Jerman –sesuai harapan orang tua. Sudah dua tahun di Achem. Tetapi ia lihat banyak temannya yang belum lulus pun setelah 8 tahun kuliah.

Bukan tidak pintar tetapi karena di sana, waktu itu, paket ujiannya beda: tidak lulus satu mata kuliah dianggap tidak lulus semua. Harus mengulangi semua.

Maka ia pilih banting stir: ke Universitas Parahyangan, Bandung. Ambil hubungan internasional. Toh bahasa Inggris, Belanda dan Jermannya sudah lebih dari lulus.

Tiba waktu buka puasa kami pindah gedung. Menyeberangi tempat parkir. Di bangunan itulah musala Kedubes. Di lantai dua. Kami berbuka di situ.

Salat maghribnya diimami anak muda, kurus, bercelana jean, berkaus pendek dan berambut panjang. Saya lupa menanyakan siapa ia. Saya keburu ditarik untuk ke tempat makan.

Bu Djauhari sudah ada di meja makan itu. Juga pak Dino. Makanannya enak. Ada mie sayur, sup jagung-sosis, kerupuk udang, sambal, dan daging sate kambing ala Xinjiang.

"Semua acara ini diurus oleh mahasiswa Indonesia yang ada di Beijing. Termasuk makanan ini. Kami hanya menyediakan tempat," ujar Dino.

Sudah dekat Lebaran masih di Tiongkok. Maka duta besar Indonesia di Beijing pun mengundang saya: untuk berlebaran bersama masyarakat Indonesia di kedutaan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News