Safari Tsinghua

Oleh: Dahlan Iskan

Safari Tsinghua
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya memanggil Benny dengan panggilan Xiao Huang. Dik Huang. Marganya memang Huang. Masih mempertahankan tetap bujangan tanpa pacar. Maka Xiao Huang pun jadi rebutan: di-bully teman-temannya. Ia cuek. Terus tersenyum.

Baca Juga:

Xiao Huang berkeinginan untuk bekerja dulu setelah menjadi doktor otomotif. Di luar negeri. Setidaknya dua tahun. Setelah itu ia ingin bisnis. Ingin merintis sesuatu yang baru untuk Indonesia.

Selama makan malam kami ngobrol. Dialog. Banyak pertanyaan. Dua mahasiswa asal Surabaya. Empat dari Tangerang. Dari Purwokerto. Dari Pontianak. Pekanbaru. Dari Kalsel. Kami lebih banyak ngobrol dalam bahasa Mandarin.

Mayoritas 20 orang itu Tionghoa. Sudah punya modal bahasa Mandarin sebelum ke Tsinghua. Bahkan yang dua orang sekolah SMA-nyi di Hangzhou.

Kini ada 75 orang mahasiswa Indonesia di Tsinghua. Tiap tahun jumlahnya terus meningkat. Ini menandakan kepintaran anak-anak Indonesia kian diakui. Tsinghua adalah universitas ranking 14 di dunia. Pejabat tinggi Tiongkok umumnya lulusan Tsinghua.

"Anda-Anda ini orang pilihan. Banyak mahasiswa Tiongkok sendiri hanya bisa mimpi untuk  masuk Tsinghua," ujar teman saya dari Beijing yang saya ajak buka puasa. Mereka pun tepuk tangan. Saya bangga melihat antusiasme mereka untuk menjadi alumni Tsinghua.

Saya tiba satu jam lebih awal dari jadwal buka puasa. Saya ingin diajak keliling kampus. Saya begitu ingin melihat kebesaran nama universitas ini. Memang ini kali pertama saya ke Tsinghua.

"Mau naik sepeda atau motor listrik?" tanya Lutfiya. "Jalan kaki saja," jawab saya.
"Kuat?"

PUN ketika di Tsinghua. Buka puasanya di restoran Xinjiang. Dengan sate istimewanya itu. Di dekat kampus yang luasnya hampir 500 hektare ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News