Sebaiknya Media Pakai Nama Hamengku Buwono X, Bukan HB Ka 10

Sebaiknya Media Pakai Nama Hamengku Buwono X, Bukan HB Ka 10
Sri Sultan Hamengku Buwono X. Foto: Radar Jogja

Yakni dari Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Undhang dengan nomor 080/KHPP/ rejep V/EHE.1948.2015 dikeluarkan sebagai tindak lanjut sabdaraja pada 30 April 2015.

Menanggapi dualisme nama sultan tersebut, Hayu menegaskan, penggunaan nama HB Ka 10 lebih untuk acara yang bersifat internal. Parameternya internal, yaitu acaranya dihadiri Sultan dan ditandai dengan adanya kandha.

”Kandha itu berupa pementasan beksan (tari),” jelas putri keempat Sultan HB X ini.

Didampingi GKR Bendara, adiknya, Hayu mengatakan, selama ini ulang tahun kenaikan takhta diperingati berdasarkan Kalender Jawa. Ditandai upacara sugengan (selamatan) dan dilanjutkan dengan labuhan.

”Tahun ini keraton menggelar berdasarkan tahun Masehi. Peringatan diadakan sejak 5 Maret hingga 7 April 2018,” jelas putri raja yang terlahir dengan nama Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurabra Juwita ini.

Kegiatan dimulai dengan simposium internasional dengan tema besar Budaya Jawa dan Naskah Keraton Yogyakarta. Dalam catatan sejarah, terang istri KPH Notonegoro ini, Keraton Jogja kehilangan banyak naskah berisi berbagai ajaran leluhur sejak peristiwa Geger Sepehi 1812.

Geger Sepehi merupakan peristiwa saat pasukan Inggris di bawah Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles menyerbu Keraton Jogja.

Sultan HB II yang saat itu bertakhta dipaksa lengser. HB II kemudian dibuang ke Penang, Malaysia. Putra mahkota, Pangeran Suraja, ayah Pangeran Diponegoro, kemudian diangkat Raffles menjadi HB III.

Sebaiknya media kembali menggunakan nama Hamengku Buwono X, tidak memakaiHB Ka 10.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News