Sebaiknya Prabowo Subianto Belajar soal Makna Suap dalam Pemilu

Dia khawatir publik akan terus terjebak dengan pragmatisme politik, siapa yang membayar maka akan dipilih.
“Padahal kita butuh pemilih cerdas yang memilih karena ide dan gagasan para calon, bukan karena isi kantungnya,” kata dia.
Dia mengingatkan bahwa mahalnya ongkos politik akan memicu pada tindakan korupsi.
Herdiansyah mengungkapkan berbagai riset sudah dijelaskan terkait biaya yang harus dikeluarkan politisi ketika mengikuti pemilu.
Di tingkat DPRD kabupaten/kota misalnya, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp15-20 miliar, lalu Rp20-100 miliar di tingkat provinsi dan akan meningkat dalam kontestasi pemilu presiden (pilpres).
Sementara, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menegaskan bahwa sikap masyarakat yang menerima serangan fajar atau politik uang adalah sikap koruptif.
"Kepada masyarakat, bahwa serangan fajar yang dimaksudkan, misalnya dengan bagi-bagi uang dan sebagainya dalam proses-proses yang sedang berjalan, itu tindakan koruptif," kata Ali Fikri.
Ali menambahkan bahwa dengan menerima uang serangan fajar adalah bibit dari tindak pidana korupsi.
Pengamat hukum menilai Prabowo Subianto keliru karena gagal memahami esensi suap dalam pemilu
- SP JICT: May Day 2025 Momentum Reformasi Tata Kelola Pelabuhan Nasional
- Dukung Prabowo 2 Periode, Idrus Golkar Usul Pembentukan Koalisi Permanen
- Versi Pengamat, Prabowo Tak Merestui Mutasi Letjen Kunto Arief
- Prabowo Sebut Orang Indonesia Harus Tinggalkan Mental 'Kumaha Engke'
- Aktivis Sayangkan Bawaslu Banggai Tidak Akui Adanya Laporan Politik Uang di Simpang Raya
- Prabowo Percaya Hakim Bergaji Besar Tidak Bisa Disogok