Serbaada di Samarinda

Serbaada di Samarinda
Dahlan Iskan.

Saya pun mantap: menyerahkan istri saya pada tim dokter di kampung kelahiran istri saya itu. Yang sudah 40 tahun ditinggalkannya itu.

Saya pun berdiskusi dengan tim dokternya: dokter Boyke Soebhali, dokter Kuntjoro Yakti, dokter Satria Sewu, dokter Moh Furqon dan dokter Teddy Ferdinand Indrasutanto. Juga melihat alat yang bernama FURS: pencari posisi batu ginjal yang bisa fleksibel. Bisa belok-belok mencari di slempitan mana batu itu berada.

Dokter Rachim Dinata, sang kepala rumah sakit, hadir: memperkenalkan dokter-dokter itu. Lalu menyilahkan kami diskusi sendiri. Rachim Dinatalah di balik semua prestasi itu. Ia dokter ahli bedah. Lulusan Universitas Padjadjaran Bandung. Kini dokter Rachim telah membalik dunia: dari kuno ke modern.

Tidak hanya alat dan fisiknya. Tapi juga sistem dan SDM-nya.

Penghasilan dokter di rumah sakit ini empat kali lipat dari penghasilan dokter di rumah sakit kota saya. Dokter Rachim menyebutkan angka-angkanya. Tapi biarlah imajinasi menuliskan angkanya sendiri.

Dokter Rachim menerapkan sistem prestasi. Di atas hirarkhi. Di atas senioritas. Di atas penampilan fisik.

Dokter Boyke misalnya: lebih bertampang rocker daripada dokter. Rambutnya dibiarkan gondrong. Celananya jean. Bawaannya ransel. Mainannya gitar.

Suatu saat pasien yang sok terdidik bertanya padanya: apakah ia mahasiswa yang lagi magang. Si pasien terperanjat ketika akhirnya tahu: yang ditanya itu adalah dokter spesialis urologi.

Dua hari sebelumnya istri saya merebus kelapa hijau muda. Lalu meminum airnya. Istri saya memang sempat berharap dokter Boyke kecele: tidak menemukan batunya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News