Setop Perkawinan Anak Adalah Tanggung Jawab Bersama

Setop Perkawinan Anak Adalah Tanggung Jawab Bersama
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB Hj Hartina bersama para remaja di Lombok saat kampanye stop pernikahan anak, Minggu (10/12).

jpnn.com, MATARAM - Gerakan Bersama Setop Perkawinan Anak dideklarasikan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (10/12). Gerakan bersama ini diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, para aktivis perempuan dan anak, serta puluhan LSM yang fokus pada isu perlindungan perempuan dan anak.

Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) Lenny Rosalin mengatakan, berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.

Lenny menegaskan, perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Perkawinan usia anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk berkembang sesuai usianya.

Akibat dari perkawinan anak ini sangat berdampak besar terutama pada perempuan. Perkawinan anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan dibanding usia 20-24 tahun dan secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan terjadi pada anak perempuan dengan usia 15-19 tahun.

"Dampak kesehatan bayi yang dilahirkan perempuan di bawah umur pun memiliki risiko kematian lebih besar yaitu dua kali lipat sebelum mencapai usia satu tahun," kata Lenny.

Risiko lain yang tidak dapat diabaikan ialah hilangnya kesempatan mendapatkan pendidikan, risiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker servik, kanker payudara dan juga hidup dalam kegaduhan keluarga karena ketidaksiapan mental dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian.

Lenny berharap melalui Gerakan Setop Perkawinan Anak ini, revisi UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun akan dapat diwujudkan.

Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB Hj Hartina mengatakan melindungi anak dari praktik perkawinan bukan sekadar tanggung jawab pemerintah. Dibutuhkan peran lembaga masyarakat, dunia usaha, maupun media dalam menghentikan praktik perkawinan pada usia anak.

Risiko lain yang tidak dapat diabaikan ialah hilangnya kesempatan mendapatkan pendidikan, risiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker servik, kanker.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News