Simak Baik-Baik, Penjelasan Stafsus Menaker Tepis Berbagai Isu Miring soal UU Cipta Kerja

Simak Baik-Baik, Penjelasan Stafsus Menaker Tepis Berbagai Isu Miring soal UU Cipta Kerja
Aturan jam istirahat dan cuti di UU Cipta Kerja. Ilustrasi Foto: ANTARA/Syaiful Arif

jpnn.com, JAKARTA - Staf khusus Kementerian Ketenagakerjaan Dita Indah Sari meluruskan berbagai isu miring yang tersebar di masyarakat mengenai pasal ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Mulai dari soal pesangon, status kontrak, cuti, pemutusan hubungan kerja, outsourcing, hingga pengupahan.

Mantan aktivis buruh itu menegaskan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja tetap mengadopsi segala hal baik yang ada di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan mengakomodasi perkembangan zaman serta ekonomi dunia.

"Hal-hal baik yang ada di UU Ketenagakerjaan tentu kita adopsi, dan kita juga perlu mengakomodasi perkembangan zaman supaya aturan ketenagakerjaan tetap relevan. Perlu diingat UU Ketenagakerjaan kita ini dibahas sejak tahun 2000 dan disahkan di tahun 2003, sudah 17-20 tahun lalu. Apa yang relevan di masa itu, belum tentu masih relevan di tahun 2020," kata Dita dalam diskusi daring, Selasa (13/10).

"Soal pesangon, Indonesia ini angka pesangonnya salah satu yang paling tinggi di dunia dan ini tidak berimbang dengan tingkat produktivitas kita. Angka 32 kali gaji ini realisasinya juga tidak ada yang mau menanggung dan tidak banyak yang mampu menjalankan. Apa kita mau hanya bagus di atas kertas saja?" lanjut Dita.

Hal ini pula yang coba dibuat lebih relevan dalam UU Cipta Kerja dengan mengambil jalan tengah yakni mengurangi angka pesangon, tetapi memberikan inovasi berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

"Manfaat JKP ini hanya ada di UU Cipta Kerja, angkanya tidak lagi memberatkan pekerja ataupun pengusaha dengan iuran tambahan. Pemerintah akan lakukan rekomposisi iuran yang ada dari BPJS Ketenagakerjaan," kata Dita menambahkan.

Terkait isu soal kontrak, Dita menjelaskan bahwa syarat-syarat mengenai pekerja kontrak masih mengadopsi aturan di UU Ketenagakerjaan terutama di pasal 56 dan 59.

"Kenapa batas maksimal kontrak tidak tercantum lagi? Karena ini akan dicantumkan di Peraturan Pemerintah nanti supaya ada fleksibilitas. Karakteristik hubungan kerja di tiap sektor kan bisa berbeda-beda. Kita ingin membuka diri untuk kebutuhan baru, tanpa meninggalkan hal-hal yang baik," kata Dita.

Staf khusus Kementerian Ketenagakerjaan Dita Indah Sari meluruskan berbagai isu miring yang tersebar di masyarakat mengenai pasal ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News