SKL BLBI Bukan Keputusan Pribadi Pejabat tapi Kolektif

SKL BLBI Bukan Keputusan Pribadi Pejabat tapi Kolektif
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Ricardo/JPNN.com

Menteri Keuangan Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Soekardi, Menteri Perdagangan Rini Soewandi, dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie.

Hasil Rapat Kabinet itu ditindaklanjuti dengan keputusan mengenai perubahan penagihan sejumlah kewajiban Sjamsul Nursalim. Keputusan KKSK 27 Maret 2001 memutuskan penagihan kewajiban dilakukan kepada perusahaan inti; Keputusan KKSK 27 April 2001, ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim; Keputusan KKSK 13 Februari 2004, ditagihkan kepada petambak, yang jumlahnya Rp 100 juta/orang untuk 11 ribu petambak atau setara Rp 1,1 triliun.

Dorodjatun juga membenarkan adanya penghapusbukuan terhadap kewajiban Sjamsul Nursalim sebesar Rp 2,8 triliun.

“Memang begitu. Dan saya menekankan adanya sejumlah persyaratan. Di BPPN ada prosedurnya. Panduannya ada di sana, saya harus mempercayai (laporan) mereka,” kata Dorodjatun.

Tidak Ada Misrepresentasi

Terkait posisi kewajiban Sjamsul Nursalim dan utang petambak Dipasena sebesar Rp 1,1 triliun seperti tersebut di atas, saksi Lukita D. Tuwo, mantan Sekretaris KKSK menyatakan karena sudah diungkapkan dalam disclosure, maka diputuskan tidak ada misrepresentasi.

Sementara itu, saksi lainnya, mantan Deputi BPPN Taufik Mappaenre Maroef menerangkan sebelum keputusan KKSK itu dibuat, pada 16 Desember 2003, telah dilakukan audit keuangan (Financial Due Diligence) terhadap aset-aset Sjamsul Nursalim. Setelah keluar keputusan KKSK pada 13 Februari 2004, dia pun membuat draft SKL.

Pada 27 Maret 2004, lanjut Taufik, keluar persetujuan dari Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Hingga akhirnya pada April 2004, diterbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim tersebut.

Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diberikan kepada obligor Sjamsul Nursalim memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat karena melalui pembahasan yang resmi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News