Soal Denda Grab, kok Konsumen yang Harus Dikorbankan?

Soal Denda Grab, kok Konsumen yang Harus Dikorbankan?
GRAB. (Foto: Ist/Jpnn)

“Jadi seharusnya ada inovasi dalam sistem yang bisa menghapus pesanan fiktif, bukan malah penerapan denda,” tegas Rolas.

Dia mengutarakan terlepas dari banyaknya pesanan fiktif, kerap kali pelanggan membatalkan karena kekecewaan terhadap kinerja mitra pengemudi.

“Terlalu lama, tidak bergerak ke tempat penjemputan. Atau tidak merespon komunikasi pelanggan, jadi tidak sepenuhnya pembatalan pesanan kesalahan pelanggan,” imbuhnya.

Rolas mengingatkan kebijakan yang dilakukan Grab tersebut berpotensi melanggar UU Perlindungan Konsumen. Terdapat beberapa ketentuan seperti penjelasan detil dan aturan yang jelas bisa dipahami konsumen yang merupakan tanggungjawab pelaku usaha.

“Kalau selama ini konsumen tidak mengerti mengapa harus didenda atau saldo OVO berkurang karena pembatalan, dengan ketentuan tertentu yang detil, maka Grab bisa melanggar UU Konsumen. Selain itu, dalam logika kebijakan Grab, sepenuhnya konsumen dikorbankan,” tegas Rolas.

Hal senada juga dikemukaakan oleh Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing. Menurutnya, denda akibat pembatalan pemesanan pelanggan transportasi daring disebabkan banyak hal sehingga tidak melulu merupakan kesalahan pelanggan.

“Ini yang seharusnya dipahami operator Grab,” tukas David.

Di sisi lain, dia menyimpulkan persoalan pembatalan pesanan oleh konsumen adalah bagian risiko usaha aplikator. Selama ini, lanjut David, aplikator tersebut hanya menyediakan jasa pemesanan bukan sebagaimana operator transportasi yang mengeluarkan biaya operasional murni, seperti mitra pengemudi di lapangan.

Hal tersebut merupakan pangkal soal yang terletak pada kelemahan sistem Grab, bukan malah dilimpahkan kepada denda konsumen.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News