Soal Pembatasan Pembelian Pertalite, YLKI: Buntutnya Runyam!

Soal Pembatasan Pembelian Pertalite, YLKI: Buntutnya Runyam!
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menilai rencana pemerintah membatasi pembelian BBM jenis Pertalite menimbulkan kerancuan pada tataran operasional. Ilustrasi SPBU: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai rencana pemeirntah membatasi pembelian BBM jenis Pertalite menimbulkan kerancuan pada tataran operasional.

Pasalnya, ada satu barang yang sama, kualitasnya sama, tetapi harganya berbeda-beda.

"Pasti nantinya akan menimbulkan berbagai anomali, distorsi bahkan moral hazard," ungkap Tulus saat dikonfirmasi JPNN.com, di Jakarta, Sabtu (11/6).

Menurutnya, meski dalam konteks menekan tingginya subsidi BBM yang ditanggung pemerintah, kebijakan ini bisa dimengerti, tetapi pada beberapa hal memiliki catatan.

"Dari sisi daya beli, kebijakan pembatasan BBM juga akan memukul daya beli konsumen, khususnya pengguna roda empat pribadi, yang selama ini menggunakan BBM pertalite," ungkapnya.

Sebab, pengguna pertalite jika bermigrasi ke Pertamax berarti kenaikan harganya sebesar Rp 5.500 per liter. Angka itu, kata Tulus, jauh lebih tinggi daripada kenaikan harga Pertamax itu sendiri, naik dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 (naik Rp 3.000 per liter).

"Secara politis, kebijakan ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk ambigu. Di satu sisi pemerintah tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya terjadi kenaikan harga, malah jauh lebih tinggi," bebernya.

Tulus menilai dari sisi ekonomi kebijakan ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi, karena yang banyak menikmati subsidi, adalah pengguna kendaraan pribadi, terlebih roda dua.

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menilai rencana pemerintah membatasi pembelian BBM jenis Pertalite menimbulkan kerancuan pada tataran operasional

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News