Soekarno-Hatta Ibarat Dwitunggal Meski Sering Berselisih Pendapat

Soekarno-Hatta Ibarat Dwitunggal Meski Sering Berselisih Pendapat
Ilustrasi sosok Bung Karno. Foto: Antaranews

jpnn.com, JAKARTA - Dua pendiri bangsa, Soekarno-Hatta dianggap sebagai kepemimpinan dwitunggal yang saling melengkapi dalam perjalanan sejarah bangsa. Keduanya saling mengkritik dan mengisi kekosongan dalam memerdekan bangsa sekaligus mempertahankannya. Tak bisa dibayangkan apabila kedua tokoh itu saling berhadapan.

Pandangan itu disampaikan wartawan senior Trias Kuncahyono dan mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar dalam acara rangkaian Talk Show “Pekan Bung Hatta” yang diinisiasi Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan, Kamis (12/8).

Di acara bertema Soekarno-Hatta Dwitunggal, Trias Kuncahyono mengatakan bahwa perjumpaan antara kedua tokoh itu merupakan takdir oleh alam dan telah menjadi suratan sejarah. Itulah yang menjadi simbol dasar pemaknaan dwitunggal Soekarno-Hatta.

“Saya ibaratkan keduanya itu bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang. Dua sisi mata uang pasti berbeda satu sama lainnya, namun dwitunggal dalam kepingan yang sama,” kata Trias beranologi pada acara yang dipandu kader PDIP Ibnu Beno.

Trias lalu mengutip intelektual hukum Djokosoetono, di mana ada dua faktor yang menyatukan sebuah Indonesia. Pertama, hal semisal Bendera Merah Putih dan ideologi egara, Pancasila. Faktor kedua ialah integritas personal para pemimpinnya.

“Keduanya dipersatukan oleh sejarah, dipertahankan oleh alam, dan kemudian menjadi pemersatu bangsa. Satu orang merupakan orator ulung dan  penyemangat, satu lagi adalah seorang administrator dan diplomat andal,” lanjut Trias.

Dalam contoh lain, Trias menambahkan  pengejawantahan dari dwitunggal Soekarno-Hatta saat detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saat itu, bisa saja Soekarno membacakan teks proklamasi sendirian tanpa Hatta.

Namun, Soekarno menunggu sahabatnya itu untuk membacakan proklamasi yang menjadi tonggak kemerdekaan Indonesia.

“Bersatunya dua tokoh itu menjadi kekuatan besar untuk mempersatukan bangsa kala itu. Simbol itu yang ingin disampaikan Soekarno-Hatta. Mengapa Soekarno sampai menunggu Hatta untuk bersama hadir dalam membacakan proklamasi,” ungkap Trias.

Dia menyadari Bung Hatta pada akhirnya mundur sebagai wakil presiden karena perselisihannya yang sudah memuncak dengan Soekarno.

Namun, dia melihat dwitunggal antara Soekarno-Hatta masih tetap utuh. Dia menganggap relasi itu dalam sudut pandang yang positif.

“Meskipun sudah tidak menjadi wakil presiden kala itu, Bung Hatta terus memberikan masukan dan kritikan kepada Soekarno yang dibuktikan dalam surat-surat yang ditulis oleh Hatta. Ini isyarat bahwa dwitunggal ini masih terus berlangsung dan bukan menjadi dwitanggal," ungkap Trias.

Sementara dalam memaknai dwitunggal itu, Arcandra menilai sosok Hatta bagi Soekarno atau sebaliknya layaknya persilangan dua kayu dalam sebuah tungku api. Meskipun seringkali terlihat persilangan pendapat antara Soekarno-Hatta, tetapi justru perbedaan itulah yang menguatkan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.

“Seperti falsafah Minangkabau, bersilang kayu di tungku barulah api hidup. Sebab ketika kayu bersilang, ada oksigen yang masuk dan dapat menciptakan kobaran api,” urai Arcandra.

Dia menilai kritik Hatta terhadap Soekarno membuat argumentasi kebangsaan yang dimiliki Putra Sang Fajar itu menjadi teruji. Arcandra juga menganggap Bung Karno membutuhkan tantangan dan inovasi yang justru didapat dari kritik Hatta.

“Meskipun sebagai manusia, Soekarno kadang marah dengan kritikan Hatta, tetapi akhirnya dia butuh itu untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik,” lanjut pria asal Minang ini.

Dalam banyak keputusan, Hatta memang banyak berselisih dengan Soekarno. Namun Hatta memiliki cara yang santun dan adil dalam memberikan masukan kepada Soekarno.

Keduanya telah melampaui kepentingan dirinya sendiri dan politik kelompok. Di benak Bung Karno dan Bung Hatta, kepentingan politik itu sudah terendap, sehingga tidak ada lagi intrik politik antarkeduanya.

“Makna dwitunggal ini, menurut hemat saya juga saling percaya satu sama lain dalam berbagai momen pengambilan kebijakan, seperti momen proklamasi tersebut,” tambah Arcandra.

Banyak hal yang sebenarnya berbenturan antara Soekarno dan Hatta yang terjadi pada beberapa momen.

Namun, cara mereka berdua saling menciptakan sintesis-antitesis. "Dan bukan hanya sintesis saja telah memperkuat pemahaman terhadap sebuah keputusan,” kata doktor lulusan Texas A&M University ini. 

Sementara itu, Arcandra menekankan kemunduran Hatta sebagai wakil presiden sebagai bentuk memberi kesempatan kepada sahabatnya untuk menjalankan tesis politiknya.

“Kita tidak bisa membayangkan jika gagasan kebangsaan keduanya saling berhadapan,” pungkas Arcandra. (tan/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:

Dalam diskusi yang diselenggarakan Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan, dua narasumber mengupas relasi antara Soekarno dan Bung Hatta. Keduanya ibarat dwitunggal.


Redaktur : Natalia
Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News