Soft Landing

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Soft Landing
Runway di sebuah bandara. Foto/Ilustrasi: JPNN.Com

Soeharto adalah contoh pilot politik yang mengalami crashed landing. Selama mengendalikan pesawat ia melakukannya dengan relatif mulus.

Ia bisa membawa pesawatnya terbang tinggi. Namun, Soeharto terbang terlalu lama dan mengalami flying fatigue, kelelahan penerbangan, yang membuatnya gagal mendaratkan pesawat dengan mulus. Pesawat akhirnya mengalami crashed dan membawa korban cukup banyak.

Mahathir Muhammad mengendalikan pesawat dalam suasana turbulensi yang sulit. Tidak selamanya cuaca mulus, sesekali ada guncangan yang membuat pesawat tidak stabil.

Meski demikian, Mahathir punya keahlian yang jeli dalam timing yang tepat untuk mendaratkan pesawatnya. Ia mungkin mendarat dengan agak keras dengan beberapa guncangan, tetapi pesawatnya bisa landing  dengan selamat dan penumpang tidak ada yang cedera.

Lee Kuan Yew dianggap paling piawai dalam mengendalikan pesawat dibanding dua sahabatnya. Pesawat yang dikendalikan Lee memang jauh lebih kecil, tetapi dia bisa membuktikan bahwa pesawatnya terbang lebih tinggi dan tetap mulus selama penerbangan.

Ketika sudah waktunya landing, Lee memilih waktu yang tepat dan mempersiapkan segalanya dengan rapi dan cermat. Lee mendarat dengan mulus, dan semua penumpang selamat dan merasa puas dengan kemulusan navigasinya.

Tiga pemimpin itu mempunyai pendekatan yang sama dalam mengendalikan pesawat. Ketiganya memacu pembangunan ekonomi dengan pendekatan "developmentalism" atau pembangunanisme.

Ketiganya berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi dengan mengorbankan pembangunan politik dan demokrasi. Develompemtalism ala Singapura menciptakan negara makmur tanpa demokrasi liberal.

Pilihan sepenuhnya ada di tangan rezim yang berkuasa, apakah menginginkan pendaratan yang mulus, soft landing, atau sebaliknya, crashed landing

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News