Sungguh Menyejukkan, Mereka Membagi Takjil di Depan Klenteng

Sungguh Menyejukkan, Mereka Membagi Takjil di Depan Klenteng
TOLERANSI: Pembagian takjil di depan Klenteng Eng An Kiong, Malang, Senin lalu (12/6). Foto: CANDRA KURNIA/Jawa Pos

Kemudian, tangan kanan menggenggam tangan kiri, sedangkan dua ibu jari saling bertemu.

Formasi tangan tersebut, menurut Anton, membentuk huruf ”ren”. Dalam bahasa Mandarin berarti ”manusia”.

”Jadi, mau tidak mau kami harus memiliki sifat kemanusiaan. Dan ini cocok dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab,” tambah pria 76 tahun itu.

Kelenteng Eng An Kiong berdiri sejak 1825. Seperti kebanyakan kelenteng atau wihara di mana pun berada, tempat ibadah tersebut sekaligus tetenger bahwa komunitas Tionghoa di sekitar lokasi sudah berkembang lebih dulu ketimbang tempat ibadahnya.

Biasanya komunitas itu dikenal dengan pecinan. Begitu juga halnya di Malang. Berdirinya Eng An Kiong merupakan bukti bahwa masyarakat Tionghoa sudah hidup di kawasan tersebut lama sebelum kelenteng dibangun.

Anton mengaku prihatin terhadap munculnya insiden sektarianisme belakangan di sejumlah tempat di tanah air.

Padahal, menurut dia, masalah itu sudah tidak perlu terjadi di Indonesia yang telah 72 tahun merdeka.

”Dengan kesepakatan bersama bapak-bapak bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai prinsip hidup bernegara, sebenarnya kita sekarang ini tinggal melaksanakannya saja,” tuturnya.

Sebuah kelenteng di Kota Malang, Jatim, ini setiap Ramadan menggelar beragam kegiatan sosial sebagai bentuk penghormatan. Juga mengelola puskesmas

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News