Susahnya Jadi Jurnalis di Indonesia Setahun Terakhir

Susahnya Jadi Jurnalis di Indonesia Setahun Terakhir
Susahnya Jadi Jurnalis di Indonesia Setahun Terakhir

Di beberapa negara demokrasi paling berpengaruh di dunia, sebagian besar masyarakat tak lagi menerima berita dan informasi yang tidak bias.

Lembaga penggiat demokrasi dan hak asasi manusia itu menjelaskan, hal tersebut terjadi bukan karena jurnalis dijebloskan ke bui, seperti yang mungkin terjadi dalam negara otoriter.

Sebaliknya, media malah melakukan upaya yang terkesan membatasi kebebasan mereka sendiri. Sebagai contoh, adanya perubahan kepemilikan media yang didukung pemerintah, muncul regulasi yang mengikat dan tekanan keuangan, serta munculnya pengaduan dari publik terhadap jurnalis yang jujur.

Di sisi lain, Pemerintah di beberapa negara juga menawarkan dukungan proaktif ke media yang dianggap kooperatif melalui langkah-langkah seperti kontrak negara yang menguntungkan, regulasi yang menguntungkan, dan akses ke dokumen negara.

Freedom House mengatakan upaya itu bertujuan untuk membuat pers melayani mereka yang berkuasa ketimbang publik.

"Di beberapa negara demokrasi paling berpengaruh di dunia, para pemimpin populis telah mengawasi upaya bersama untuk menekan kebebasan media," kata Sarah Repucci, direktur senior untuk penelitian dan analisis Freedom House.

"Sementara ancaman terhadap kebebasan media global begitu mengkhawatirkan, pengaruhnya terhadap demokrasi adalah hal yang membuat langkah itu benar-benar berbahaya."
Repucci merinci masalah itu muncul secara bersamaan dengan populisme sayap kanan, yang telah merusak kebebasan dasar di banyak negara demokratis.

"Para pemimpin populis menampilkan diri mereka sebagai pembela mayoritas yang dirugikan terhadap elit liberal dan etnis minoritas yang kesetiaannya mereka pertanyakan."

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News