Tahun Baru lewat Televisi

Tahun Baru lewat Televisi
Tahun Baru lewat Televisi

Tahun Baru lewat TelevisiSELAMA lebih dari satu dekade hingga kini, saya selalu menikmati pergantian tahun baru di Ubud. Tahun lalu saya merayakannya di luar rumah atau mengundang teman dan keluarga untuk merayakan di rumah. Namun karena lalu lintas di pulau ini semakin tidak terkendali dan terjebak “macet total”, maka perlahan waktu merambat tengah malam, semakin saya tidak tertarik keluar dan cenderung memilih untuk tetap tinggal di rumah.

 Jadi, bukannya keluar dan mengambil kesempatan untuk selebrasi tahun baru di Seminyak atau Sanur, saya justru tetap tinggal di Ubud –seperti yang telah saya lakukan beberapa tahun terakhir, segera tidur ketika malam semakin larut.

Berada di rumah, saya menikmati malam tahun baru seperti kebanyakan orang Indonesia: makan, minum dan menonton tv.

Untungnya, dua saluran utama TV berita menjauhi siaran politik sepanjang malam ini. Saya menyukai siaran langsung kondisi perayaan di seluruh Indonesia di saluran berita ini. Koresponden Metro TV (saya lupa namanya) dari Jogjakarta menarik perhatian saya.

Suasana yang dibawa semua saluran TV adalah keceriaan. Ini tergambar dari keluarga yang tak terhitung jumlahnya keluar menikmati pesta, entah dari Pantai Losari di Makassar, Jalan Malioboro di Jogjakarta, hujan yang mengguyur di Jayapura, Medan atau Surabaya.

Pada saat yang sama, tayangan hiburan di semua saluran televisi dipenuhi dengan bintang-bintang Ibukota. Di Trans7 ada Ariel Noah dan Nidji yang menyemarakkan Transtudio Bandung. Beralih ke saluran lain, SCTV memberi saya suguhan dangdut dan grup musik Ungu di Ancol. Indosiar memiliki tayangan drama sejarah yang disusul kemudian tayangan islami dengan Ustadzah yang mengesankan sedang memimpin diskusi.

Anehnya, MNC TV menyajikan film-film barat yang agak aneh jika dibandingkan dengan siaran langsung yang luar biasa di ANTV, duet Rhoma Irama dan Jokowi menyanyikan “Darah Muda” di atas panggung di depan ratusan ribu pengunjung yang berjejalan di Bundaran Hotel Indonesia.

Tentu saja, Ubud tidak sepenuhnya sepi. Kota ini juga gemebyar karena kembang api murahan dari Cina yang sangat banyak, juga sederetan terompet plastik yang bising dan zuzula yang kencang suaranya ketika malam sudah semakin larut. Saya mulai menguap –sebuah tanda bahwa saya harus segera beristirahat: mengamankan pikiran bahwa 2014 akan baik-baik saja seperti tahun yang lain.

SELAMA lebih dari satu dekade hingga kini, saya selalu menikmati pergantian tahun baru di Ubud. Tahun lalu saya merayakannya di luar rumah atau mengundang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News