Tak Cukup Hanya Bagi-Bagi Sertifikat

Tak Cukup Hanya Bagi-Bagi Sertifikat
Tak Cukup Hanya Bagi-Bagi Sertifikat
JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP SPI) menyatakan kekecewaannya dengan model reformasi agraria (land reform) yang hanya berupa pembagian sertifikat tanah. Ketua Umum DPP SPI Henry Saragih menilai, kalau yang dilakukan hanya program pemberian sertifikat maka tidak akan mampu mengatasi persoalan kemiskinan. SPI menuntut pembagian tanah perkebunan kepada para buruh perkebunan dan petani, sebagai bentuk konkret program land reform.

"Kalau hanya pemberian sertifikat, itu hanya bentuk minimal land reform. Selama tanah perkebunan tidak dibagikan kepada buruh, petani, dan pekerja perkebunan, maka rakyat akan tetap miskin. Berapa pun tingginya harga kelapa sawit, buruhnya tetap miskin. Ini sama dengan jaman Belanda dulu, setinggi apa pun harga komoditi perkebunan, para kulinya tetap miskin," papar Henry Saragih, Rabu (30/7).

Henry mengatakan, kalau hanya pemberian sertifikat, maka program land reform tidak akan menyelesaikan persoalan sengketa tanah yang marak terjadi di sejumlah daerah. Mestinya, program yang sudah lama dicanangkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menjadi titik awal guna menghilangkan berbagai bentuk konflik agraria.

BPN di daerah, lanjut Henry, mestinya memahami bahwa program land reform ini merupakan bagian dari strategi besar (grand strategy) pembangunan ekonomi. "Program ini sebenarnya bertujuan merombak sistem ekonomi, dari yang sistem yang mengandalkan perusahaan-perusahaan pertanian, menjadi sistem yang menempatkan petani sebagai sokoguru ekonomi nasional yang didukung koperasi-koperasi," beber Henry.

Kalau sekadar pemberian sertifikat, kata Henry, maka hal itu hanya wujud program land reform yang sangat parsial. "Rakyat akan tetap miskin, yang artinya program land reform tak akan berhasil. Tuntutan kita yang praktis adalah, selesaikan dulu berbagai sengketa tanah, baru setelah dilakukan pembagian tanah ke buruh dan petani," tandas Henry.

Secara umum, masih sambung Henry, konsep pemerintah mengenai land reform ini juga masih membingungkan. Ada berbagai macam tafsir terhadap model implementasinya. Ada yang menganggap hanya berupa pemberian sertifikat, sebagaimana ditafsirkan Horasman Sitanggang. Ada pula anggapan bahwa akan ada pembagian tanah, terutama tanah-tanah sengketa yang dicarikan dulu penyelesaiannya. "Ada pula yang menafsirkan ini merupakan program bagi-bagi tanah yang selama ini telantar. Semua belum jelas," paparnya.

Mengenai kriteria rakyat yang akan menjadi subyek land reform juga belum jelas. Kata Henry, mestinya pemerintah mengidentifikasi terlebih dahulu siapa rakyat yang pantas menjadi subyek pemilik lahan. DPP SPI punya kriteria jelas, bahwa yang layak menerima pembagian tanah adalah buruh dan petani, pekerja perkebunan, dan rakyat yang tanahnya diserobot perusahaan perkebunan.

Saat ditanya apa langkah konkret DPP SPI menyikapi program land reform ini, Henry menjelaskan pihaknya telah dan akan terus melakukan sejumlah aksi. Pertama, terus memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa mereka punya hak mendapatkan tanah. Kedua, melakukan advokasi dan penguatan petani agar terus melakukan desakan ke DPR dan pemerintah. Ketiga, memberikan penyadaran kepada rakyat agar tanah-tanahnya terus dipertahankan. Keempat, memobilisasi pendapat umum (publik opinion) bahwa rakyat akan tetap miskin bila tidak mendapat pembagian tanah.

JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP SPI) menyatakan kekecewaannya dengan model reformasi agraria (land reform) yang hanya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News