Tak Pernah Khawatir Urusan Perut Selama Masih Ada Lontar

Tak Pernah Khawatir Urusan Perut Selama Masih Ada Lontar
Seorang warga Pulau Rote memanjat pohon lontar. Foto: TIMOR EKSPRESS

Dinding dan atapnya dari lontar. Pagar halaman rumah yang juga ditempati anak pertamanya, Dominggus, bersama istri, Meri Mero, tersebut memanfaatkan pula tangkai daun lontar. Di halaman itulah beberapa pohon lontar tumbuh liar.

’’Orang Rote sejak dia lahir tidak dikasih susu, tapi langsung gula air hasil lontar,’’ terang tokoh masyarakat adat Rote Arkhimes Molle.

Meski berbentuk cair, gula air dapat dibilang merupakan makanan pokok bagi masyarakat tradisional di Rote.

Bila di Jawa ada ungkapan belum makan kalau bukan nasi, di kalangan masyarakat tradisional Rote, idiom yang sama digunakan untuk gula air.

Minuman itu berasal dari nira lontar yang diolah hingga kental seperti sirup. Untuk menyajikannya, tinggal dicampur dengan air. Lalu diminum.

’’Seorang pria dewasa di Rote sanggup bekerja di ladang seharian hanya dengan sarapan dua gelas gula air,’’ ungkap Molle yang juga mantan anggota DPRD Rote Ndao.

Litbang Kementerian Pertanian pernah merilis bahwa nira lontar memiliki kandungan glukosa 10,96 persen atau hampir 11 persen.

Nira lontar juga mengandung sukrosa 13–18 persen. Juga, sedikit protein dengan kandungan 0,28 persen.

Dari tanaman lontar, bisa dibilang kebutuhan pangan, papan, dan sandang warga Rote terpenuhi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News