Telah Lahir: Sang Penari Langit Nasional

Telah Lahir: Sang Penari Langit Nasional
Telah Lahir: Sang Penari Langit Nasional

Ricky sebagai putra bangsa memang bisa lebih membumi: Dia tahu daya beli di Indonesia masih rendah sehingga memerlukan generator murah. Dia tahu, kalau generatornya mahal, listrik tenaga angin jadi lebih mahal dari sumber tenaga lainnya, terutama batugana, eh, batu bara. Ricky juga tahu bahwa angin di Indonesia itu angin-anginan.

Tiga persoalan itulah yang membuat saya tidak pernah yakin dengan listrik tenaga angin. Tiga hal tersebut memang tidak terselesaikan oleh perangkat listrik tenaga angin yang selama ini diimpor.

Saya melihat kincir yang dipasang oleh berbagai instansi, di berbagai tempat di Indonesia belum ada yang berhasil. Kalau tidak berputar, rusak, tiangnya sudah hampir roboh.

Ricky sudah lama melakukan penelitian tentang angin. Dia pernah tinggal di pantai selatan Tasikmalaya, Jawa Barat. Harus naik motor selama enam jam. Dia indekos di rumah penduduk. Dia bina anak-anak muda untuk melakukan penelitian yang benar.

Kesimpulannya: Untuk Indonesia, harus generator dan baling-baling bagus tapi murah. Teknologinya harus cocok untuk angin yang lemah gemulai pun.

Mengapa angin kencang tidak sebanyak di Eropa? Sejak dulu memang begitu karena kita berada di khatulistiwa. Bukan hanya sejak ada iklan Tolak Angin.

Untuk baling-baling Ricky menemukan bahan pribumi: kayu pinus. Ringan dan kuat. Dia pun membina seorang perajin dari Lumajang, Jawa Timur, untuk membuatnya. Memuaskan.

Setelah dicoba selama setahun di pedalaman Sumba, ternyata sukses. Tidak ada persoalan teknologi sama sekali. Sudah teruji.

    "Suami saya sudah hilang," celetuk sang istri.     "Hilang di Sumba," jawab sang suami. RICKY

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News