Tragedi Oktober di Kanjuruhan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Tragedi Oktober di Kanjuruhan
Skuad Persebaya terpaksa dikeluarkan menggunakan kendaraan taktis setelah suporter mengamuk di Stadion Kanjuruhan, Malang. Foto: Antara/Prabowo/abs/rwa

Yang berbuat onar adalah suporter Liverpool, yang menanggung sanksi adalah seluruh klub sepak bola Inggris.

Dengan sanksi tegas dan keras tanpa kompromi itu seluruh klub di Eropa berbenah dan menata hubungan dengan suporter. Organisasi suporter di seluruh Eropa berbenah dengan memperbaiki manajemen dan memberikan edukasi terhadap suporter-suporter yang menjadi anggota.

Sanksi keras yang dijatuhkan oleh UEFA membawa efek jera yang kongkret.

Di Inggris suporter Hooligan yang terkenal fanatik dan beringas akhirnya bisa memperbaiki diri. Mereka kemudian berubah menjadi kelompok suporter yang punya fanatisme tinggi, tetapi tidak lagi beringas dan anarki.

Demikian halnya dengan kelompok suporter garis keras klub-klub Italia yang dikenal sebagai ‘’ultras’’. Mereka berbenah dan memperbaiki manajemen, sehingga berhasil menjadi kelompok suporter yang militan, tetapi tidak brutal.

Di Indonesia tragedi kematian suporter sangat sering terjadi, baik akibat perkelahian antarsuporter maupun karena kecelakaan di dalam atau di luar stadion. Namun, sejauh ini sanksi yang dijatuhkan oleh PSSI, sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia, tidak memberikan efek jera yang bisa membawa reformasi total dalam pengelolaan suporter di Indonesia.

Sebelum kompetisi Liga 1 dimulai sudah terjadi korban tewas dalam pertandingan pra-musim Piala Presiden 2022, Juni lalu.

Dalam laga di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, antara Persib melawan Persebaya, dua bobotoh, suporter Persib, meninggal dunia akibat terjatuh dan terinjak-injak oleh penonoton lain.

Tragedi Kanjuruhan jauh lebih mengerikan dari Tragedi Heysel di Brussel, Belgia pada 1985.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News