Transpuan Makin Sulit Bertahan di Masa Pandemi, Keterbatasan Akses Jadi Faktor Utama

Transpuan Makin Sulit Bertahan di Masa Pandemi, Keterbatasan Akses Jadi Faktor Utama
Untuk bertahan hidup, para transpuan yang tinggal di salon milik Yuli sekarang membuat dan berjualan kue. (Supplied.)

"Tapi namanya rumah singgah, kita enggak bisa kontrol berapa orang yang bolak-balik datang dan kalau ada yang perlu bantuan, masa saya tolak?”

Sama halnya dengan Rully, Yuli kini sebagian besar mengharapkan donasi atau bantuan dari berbagai pihak untuk bisa menghidupi para transpuan di rumah singgahnya.

“Sekarang masih ada sisa 35 kilogram beras untuk bertahan. Itu pun banyak yang datang minta. Tapi ini kan untuk stok kami juga di sini, jadi bagaimana ini,” ujar Yuli.

Selain dari bantuan donasi, Yuli juga meminta para transpuan yang tinggal di salon atau di rumah singgahnya untuk membuat dan berjualan kue-kue untuk menutup kebutuhan.

“Bikin donat atau pisang goreng, dijual di warung kalau pagi, yang penting [dapat uang] untuk beli beras atau mie [instan] ya sudah, kita bertahan aja dulu.”

Dukcapil minta transpuan tak ragu datang untuk didata

Rully Malay mengatakan, penyebab sejumlah transpuan yang meninggal dunia di Yogyakarta adalah kemiskinan, kurang gizi, ditambah dengan kesulitan mengurus akses bantuan karena tak ada Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Jenny Mikha asal Subang, Jawa Barat yang sudah sejak tahun 2008 tinggal di Yogyakarta adalah salah satu dari banyak transpuan di Yogyakarta yang tidak memiliki bukti identitas.

Menurutnya, ada beberapa penyebab para transpuan tidak memiliki KTP.

Menurut Rully, ada 18 transpuan meninggal dunia di Yogyakarta pada masa pandemi COVID-19

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News