Tugas Berburu Boy 25 Sampai Lafayette

Oleh Dahlan Iskan

Tugas Berburu Boy 25 Sampai Lafayette
Tugas Berburu Boy 25 Sampai Lafayette

Waktu saya berjalan di sepanjang Champ Elysees (baca: song elize) yang terkenal itu, anehnya, tidak ada satu pun toko Chanel di situ. Yang ada Louis Vuitton. Dan sebangsanya.

Berita duka itu saya kabarkan ke Surabaya. Dasar anak sekarang, saya pun dikirimi alamat beserta petanya. Rupanya didapat dari Google Map.

Oh, kalau itu sih di dekat hotel saya. Di mal bawah tanah Museum Louvre. Kebetulan, sejak membaca novel DaVinci Code, saya memang bermimpi ke museum itu. Untuk melihat piramida kaca dan lukisan Monalisa. Dua benda yang dimisteriuskan secara memikat di novel karangan Dan Brown tersebut.

Saya berhasil menemukan lokasi di mana di museum yang grande itu lukisan Monalisa digantung. Tapi, tidak bisa mendekat. Ratusan orang memenuhi ruangan itu. Dengan mengacungkan handphone. Memotret. Ternyata, lukisan asli Monalisa itu kecil sekali. Tenggelam oleh pengunjung. Novel yang terjual hampir 100 juta buku tersebut pastilah penyebabnya.

Saya juga berhasil menemukan toko Chanel di bawah museum. Tapi, yang dijual hanya kosmetik. Tidak ada Boy 25.

Demi sang putri, saya jalan kaki ke sepanjang Medellin Evenue yang tersohor itu. Merek-merek terkenal juga berpusat di sini. Ternyata, di Medellin Evenue pun tidak ada. "Sombong banget merek ini," kata saya dalam hati.

Saya pun lari ke internet. Harus ketemu. Ternyata, pusat Chanel ada di sebuah jalan kecil tidak jauh dari Medellin. Benar-benar pede merek ini.

Rupanya, hanya sebangsa saya yang tidak tahu alamat tersebut. Buktinya, begitu tiba di jalan kecil itu, orang sudah berjubel di depan toko: antre! Yaaa ampuuun. Beli tas antre! Satpam toko mengatur kapan antrean paling depan boleh masuk.

SAYA lagi mampir Paris dua hari. Dalam perjalanan pulang dari Kolombia dan Meksiko. Tidak ada tujuan apa-apa. Tumben.   Mungkin karena sudah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News