Tumbuhkan Rasa Percaya Diri Sejak DIni

Tumbuhkan Rasa Percaya Diri Sejak DIni
Foto ilustrasi diperankan oleh Angela Ruth Victoria Virgine dan Mindy Astuti. (Dite Surendra/Jawa Pos)

Usia 3–5 tahun, anak memasuki tahap psikososial ketiga. Pada masapreschool tersebut, anak gemar mencoba segala hal yang baru dan dianggap menarik. Karena mulai berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, rasa ingin tahu anak semakin besar. Karena itu, memicu inisiatif untuk mencoba hal baru.

Psikolog 48 tahun itu menjelaskan, jika pola asuh orang tua terlalu otoriter, anak takut mencoba segala hal baru. Akibatnya, buah hati akan minder. Sebaiknya, orang tua memberikan pola asuh secara demokratis, namun tetap dalam pengawasan. ’’Kamu makan ini saja, jangan main jauh-jauh, pakai baju ini saja. Segala aturan itu akan membentuk rasa tidak percaya diri pada anak untuk mencoba hal baru,’’ kata perempuan berkacamata tersebut.

Meski demikian, bunda tidak patut memaksakan kehendak. Misalnya, bunda memaksa anak ikut lomba menyanyi agar percaya diri, namun anak menolak. Hal tersebut berakibat fatal. Bukan rasa percaya diri yang timbul, anak malah takut dan trauma. ’’Tolong jalan dengan ukuran sepatuku. Sehingga kamu akan tahu bahwa aku tidak bisa melangkah seperti orang dewasa. Ibarat itulah teriakan hati anak yang mendapat paksaan dari orang tuanya,’’ ungkap perempuan kelahiran Surabaya, 15 Maret 1966, itu.

Akar percaya diri semakin kuat apabila cara pola asuh pada tiga masa perkembangan awal tersebut dikombinasikan dengan cara perilaku bunda yang benar dalam menghadapi temperamen (sifat alami anak).

Teori Alexander Chess dan Stella Thomas membagi tiga kategori sifat bawaan lahir. Pertama, anak yang ’’mudah’’ dan memiliki mood positif. Artinya, anak terlahir dengan sifat yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sifat alami itu sering disertai energi sedang (tenang dan tidak berontak). Anak ingin selalu mendapatkan rasa nyaman. Dalam hal itu, bunda wajib memfasilitasi kebutuhan anak sehingga rasa nyaman pada diri anak tumbuh.

Kedua, anak ’’sulit’’ dan cenderung negatif. Anak mudah menangis dan rewel. Jika pola asuh otoriter orang tua diterapkan, si kecil cenderung kesulitan. Anak akan semakin reweldan agresif. Sebaliknya, bila orang tua memberikan pola asuh demokratis, anak tenang dan lebih percaya diri.

Ketika, anak yang ’’lambat’’ dan hangat. Anak memiliki sifat oversensitif. Dibutuhkan waktu lama untuk melakukan perubahan. Di sini juga diperlukan pemahaman dari orang tua. Bunda harus sabar mendampingi.(bri/mas/nda)

Melihat anak percaya diri dan berani mengutarakan pendapat pasti menjadi dambaan setiap orang tua. Memang ada faktor genetik, namun rasa percaya


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News