Ujaran Kebencian dan Kekerasan Antimuslim di Sri Lanka

Ujaran Kebencian dan Kekerasan Antimuslim di Sri Lanka
Polisi berjaga di sebuah rumah yang dibakar kelompok Buddha di Kota Kandy. Foto: AFP

Serangan warga Buddha Sinhala tak terbendung, bahkan setelah status darurat nasional diberlakukan Selasa (6/3). Puluhan rumah, toko, dan masjid dibakar. Setidaknya tiga orang tewas dalam serangan yang dilancarkan sejak Senin (5/3) itu.

Weerasinghe dan beberapa orang lainnya telah ditangkap, tapi situasi belum terkendali sepenuhnya. Penangkapan dirasa terlalu telat dan tak mencukupi untuk menghentikan kekerasan.

Insiden seperti itu bukan hal baru di Sri Lanka. Negara tersebut pernah hampir tiga dekade dilanda perang etnis. Setelah perang selesai pada 2009, berulang-ulang gerakan antimuslim digulirkan.

Metodenya serupa. Diawali dengan pernyataan bernada provokasi dan berakhir dengan serangan serta pembakaran. Pemerintah maupun penduduk seperti tak pernah belajar dari sejarah dan terus mengulang kejadian yang sama.

Direktur Eksekutif National Peace Council Jehan Perera mengungkapkan, meski warga Buddha Sinhala dan muslim hidup berdampingan, mereka masih merasa tidak aman.

”Warga Sinhala memandang diri mereka sebagai minoritas yang terancam keberadaannya,” terang Perera.

Di Sri Lanka, Sinhala memang mayoritas. Tapi, mereka beranggapan bahwa jumlah warga Tamil lebih banyak karena merupakan bagian dari warga Tamil Nadu di India.

Tamil didominasi umat Islam, Hindu, dan Kristen. Sinhala juga melihat warga muslim sebagai bagian dari komunitas Islam secara global. Mereka takut suatu hari Sri Lanka akan diambil alih.

Di Distrik Kandy, Sri Lanka, ujaran kebencian menggerakkan massa melakukan kejahatan yang masif. Hingga pecah kekerasan antimuslim di negeri tersebut.

Sumber Jawa Pos

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News